LEMAHNYA SINKRONISASI PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA
Analisis Kritis atas Partisipasi yang Terpinggirkan
Oleh: NUR ROZUQI*
1. Pendahuluan
Perencanaan pembangunan desa idealnya menjadi proses yang inklusif, deliberatif, dan berbasis kebutuhan nyata masyarakat. Peraturan Daerah (Perda) No. 10 Tahun 2021 telah menetapkan bahwa pendekatan pembangunan harus bersifat teknokratik, partisipatif, politis, dan kombinatif. Namun, dalam praktiknya, pelibatan masyarakat desa dalam proses perencanaan sering kali bersifat seremonial dan tidak mencerminkan partisipasi yang bermakna. Artikel ini mengkaji kondisi faktual dari lemahnya sinkronisasi perencanaan pembangunan, dampaknya terhadap kualitas pembangunan desa, serta menawarkan rekomendasi solusif untuk perbaikan sistemik.
2. Kondisi Faktual
Dua fakta utama mencerminkan lemahnya sinkronisasi perencanaan pembangunan desa:
a. Ketidaksesuaian antara regulasi dan praktik lapangan
1) Perda No. 10 Tahun 2021 menekankan pendekatan pembangunan yang menggabungkan unsur teknokratik (berbasis data), partisipatif (melibatkan warga), politis (berorientasi pada kebijakan), dan kombinatif (integratif antara atas-bawah).
2) Namun, pelaksanaan di lapangan sering kali tidak konsisten. Musyawarah perencanaan pembangunan desa (musrenbangdes) lebih banyak menjadi formalitas administratif daripada ruang deliberatif yang inklusif.
b. Partisipasi masyarakat yang dangkal dan tidak terstruktur
1) Warga desa sering kali hanya dilibatkan sebagai peserta pasif, tanpa ruang untuk menyampaikan aspirasi secara sistematis.
2) Tidak ada mekanisme yang menjamin bahwa masukan warga benar-benar diakomodasi dalam dokumen perencanaan seperti RPJMDes dan RKPDes.
3. Dampaknya
Lemahnya sinkronisasi dan partisipasi dalam perencanaan pembangunan desa menimbulkan berbagai dampak negatif:
a. Rendahnya relevansi program pembangunan, karena tidak berbasis kebutuhan riil masyarakat.
b. Terpinggirkannya suara kelompok rentan, seperti perempuan, pemuda, dan warga miskin, dalam proses pengambilan keputusan.
c. Stagnasi inovasi lokal, karena tidak ada ruang untuk eksplorasi gagasan dari warga desa.
d. Menurunnya kepercayaan publik terhadap pemerintah desa, akibat proses perencanaan yang tidak transparan dan tidak akuntabel.
4. Rekomendasi Solusif
Untuk memperbaiki sinkronisasi perencanaan pembangunan desa, berikut langkah-langkah strategis yang dapat diterapkan:
a. Reformasi Musrenbang Desa menjadi forum deliberatif
1) Gunakan metode Focus Group Discussion (FGD), pemetaan kebutuhan warga, dan fasilitasi dialog antar kelompok masyarakat.
2) Libatkan tokoh adat, perempuan, pemuda, dan kelompok marginal secara aktif.
b. Penyusunan profil desa berbasis data partisipatif
1) Integrasikan data sosial, ekonomi, dan aspirasi warga dalam dokumen RPJMDes dan RKPDes.
2) Gunakan teknologi sederhana seperti survei digital atau forum diskusi daring untuk menjangkau lebih banyak warga.
c. Pelatihan fasilitator lokal dan perangkat desa
1) Tingkatkan kapasitas perangkat desa dalam merancang dan memfasilitasi proses perencanaan yang inklusif dan berbasis bukti.
2) Bentuk tim fasilitator desa yang bertugas mendampingi proses musrenbang secara teknis dan sosial.
d. Monitoring dan evaluasi partisipatif
1) Libatkan warga dalam proses evaluasi program pembangunan melalui forum warga, audit sosial, dan pelaporan terbuka.
2) Gunakan papan informasi digital dan kanal komunikasi warga untuk transparansi dan akuntabilitas.
5. Penutup
Lemahnya sinkronisasi perencanaan pembangunan desa bukan sekadar persoalan teknis, melainkan cerminan dari minimnya komitmen terhadap partisipasi yang bermakna. Reformasi musrenbang dan penyusunan RPJMDes harus berangkat dari kebutuhan riil warga, bukan sekadar memenuhi kewajiban administratif. Dengan pendekatan yang deliberatif, berbasis data, dan inklusif, desa dapat menjadi ruang pembangunan yang adil, reflektif, dan berkelanjutan.
Terima kasih, semoga barokah, Aamiin…
*Penulis adalah
Direktur Pusbimtek Palira
Ketua Umum DPP LKDN

