SDGs DESA GAGAL
Gagal Karena Terjebak dalam Teknokratisme Tanpa Aksi
Oleh: NUR ROZUQI*
1. Pendahuluan
Program Sustainable Development Goals (SDGs) Desa diluncurkan sebagai adaptasi lokal dari agenda pembangunan global yang berorientasi pada keberlanjutan, inklusi, dan kesejahteraan. Dengan 18 tujuan yang mencakup aspek sosial, ekonomi, lingkungan, dan kelembagaan, SDGs Desa diharapkan menjadi peta jalan transformasi desa. Namun, setelah beberapa tahun berjalan, harus diakui bahwa program ini gagal mencapai tujuannya. Bukan karena konsepnya keliru, tetapi karena pelaksanaannya terjebak dalam pendekatan teknokratis dan administratif semata—berkutat pada pendataan, pelaporan, dan indikator, tanpa aksi nyata yang menyentuh kehidupan warga desa.
2. Kondisi Faktual
a. Fokus utama implementasi SDGs Desa adalah pada pengisian ribuan variabel data melalui aplikasi digital, yang seringkali tidak dipahami oleh perangkat desa maupun warga.
b. Tidak ada mekanisme yang kuat untuk mengintegrasikan hasil pendataan ke dalam perencanaan dan penganggaran desa secara kontekstual dan partisipatif.
c. Banyak desa menganggap SDGs sebagai beban administratif tambahan, bukan sebagai alat bantu reflektif untuk pembangunan.
d. Tidak ada sistem umpan balik atau evaluasi berbasis aksi—indikator dikumpulkan, tetapi tidak digunakan untuk mendorong perubahan kebijakan atau program nyata di tingkat desa.
3. Dampaknya
a. SDGs menjadi simbol, bukan sistem: Ia hadir dalam bentuk banner, dokumen, dan aplikasi, tetapi tidak hidup dalam praktik pembangunan desa.
b. Kehilangan makna keberlanjutan: Karena tidak diikuti oleh aksi nyata, SDGs gagal menjadi instrumen perubahan sosial dan ekonomi yang berkelanjutan.
c. Partisipasi warga terpinggirkan: Pendekatan teknokratis membuat warga tidak merasa memiliki program ini, karena tidak dilibatkan dalam proses refleksi dan aksi.
d. Data tanpa dampak: Ribuan data dikumpulkan, tetapi tidak menghasilkan kebijakan yang relevan atau program yang menjawab kebutuhan lokal.
4. Rekomendasi Solusif
a. Reorientasi SDGs dari teknokrasi ke aksi reflektif: SDGs harus dipahami sebagai proses pembangunan yang hidup, bukan sekadar kumpulan indikator.
b. Integrasikan SDGs ke dalam siklus musyawarah dan perencanaan desa: Data harus menjadi bahan refleksi dalam musyawarah desa, bukan hanya laporan ke pusat.
c. Bangun kapasitas warga dan perangkat desa untuk membaca dan menggunakan data secara kontekstual: Literasi data harus dikembangkan agar SDGs menjadi alat bantu, bukan beban.
d. Dorong aksi nyata berbasis data lokal: Gunakan hasil SDGs untuk merancang program-program kecil yang konkret, terukur, dan berdampak langsung bagi warga.
5. Penutup
SDGs Desa adalah ide besar yang gagal diwujudkan secara bermakna karena terjebak dalam teknokratisme dan administrasi tanpa aksi. Kita tidak bisa membangun keberlanjutan hanya dengan angka dan laporan. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk mengubah data menjadi tindakan, indikator menjadi refleksi, dan program menjadi proses pembelajaran kolektif. Saatnya menghidupkan kembali semangat SDGs dengan pendekatan yang lebih kontekstual, partisipatif, dan berorientasi pada perubahan nyata di desa.
Terima kasih, semoga barokah, Aamiin…
*Penulis adalah
Direktur Pusbimtek Palira
Ketua Umum DPP LKDN

