MAKAM PALSU DAN CUNGKUP FIKTIF: CERMIN KELALAIAN PEMERINTAH DESA DAN BPD
Oleh: NUR ROZUQI*
Kasus munculnya makam palsu beserta bangunan cungkupnya bukan sekadar kekeliruan administratif. Ia adalah bukti nyata dari bobroknya sistem pengawasan dan lemahnya integritas kelembagaan di tingkat desa. Ketika ruang publik dijadikan panggung manipulasi, maka yang tercoreng bukan hanya nama desa, tetapi juga kredibilitas Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai penjaga akuntabilitas.
1. BPD: Pengawas yang Absen dalam Tanggung Jawab
Secara normatif, BPD memiliki mandat konstitusional sebagai lembaga pengawasan terhadap jalannya pemerintahan desa. Fungsi ini mencakup seluruh tahapan pembangunan fisik desa—mulai dari perencanaan, penentuan anggaran dan sumber dana, penetapan lokasi, pelaksanaan teknis, hingga proses pertanggungjawaban akhir (DLPA). Dalam setiap tahap tersebut, BPD seharusnya hadir secara aktif, kritis, dan sistematis. Ketidakhadiran atau sikap pasif BPD bukan hanya kelalaian, tetapi bentuk pengkhianatan terhadap amanat undang-undang dan kepercayaan masyarakat.
Namun, dalam kasus makam palsu ini, BPD gagal menjalankan fungsi pengawasan. Tidak ada sikap kritis terhadap perencanaan, tidak ada verifikasi terhadap pelaksanaan, dan tidak ada evaluasi terhadap hasil. Bahkan ketika penyimpangan telah terjadi, BPD tidak menunjukkan keberanian kelembagaan untuk memanggil dan meminta pertanggungjawaban dari Pemerintah Desa. Maka, secara moral dan hukum, BPD turut bersalah. Diamnya BPD adalah bentuk pembiaran yang memperkuat praktik manipulatif.
2. Pemerintah Desa: Pelaku Utama dalam Rekayasa Pembangunan
Di sisi lain, Pemerintah Desa sebagai pelaksana pembangunan memikul tanggung jawab utama atas munculnya makam palsu dan bangunan cungkup yang tidak berdasar. Jika pembangunan dilakukan tanpa dasar kebutuhan riil, tanpa musyawarah yang transparan, dan tanpa verifikasi lapangan, maka itu adalah bentuk penyalahgunaan kewenangan. Pembangunan yang seharusnya menjadi sarana pelayanan publik justru berubah menjadi proyek fiktif yang menggerogoti kepercayaan warga.
Lebih dari itu, kasus ini membuka kemungkinan adanya praktik manipulasi anggaran, penggelembungan biaya, atau bahkan pengalihan dana desa untuk kepentingan yang tidak sah. Maka, Pemerintah Desa tidak hanya lalai, tetapi patut diduga melakukan pelanggaran administratif dan pidana.
3. Penutup: Mendesak Reformasi Tata Kelola Desa
Kasus makam palsu ini harus menjadi titik balik. BPD tidak boleh lagi menjadi lembaga formalitas yang hanya hadir dalam berita acara, tetapi harus menjadi pengawas aktif yang berani bersuara dan bertindak. Pemerintah Desa pun harus dibenahi agar tidak menjadikan pembangunan sebagai ladang kepentingan pribadi.
Jika tidak ada reformasi tata kelola dan penguatan akuntabilitas, maka desa akan terus menjadi korban dari sistem yang korup dan tidak berpihak pada rakyat. Masyarakat berhak tahu, berhak mengawasi, dan berhak menuntut pertanggungjawaban. Karena desa bukan milik segelintir orang, tetapi milik semua warga yang menginginkan keadilan dan kemajuan.
Terima kasih, semoga barokah, Aamiin…
*Penulis adalah
Direktur Pusbimtek Palira
Ketua Umum DPP LKDN

