BANGUN MAKAM PALSU DI DESA AKIBAT KEDUNGUAN TATA KELOLA

BANGUN MAKAM PALSU DI DESA AKIBAT KEDUNGUAN TATA KELOLA
(belajar dari kasus)

Oleh: Nur Rozuqi*

Ditulis setelah membaca 2 berita sebagaimana tautan berikut:

Warga Makin Geram Terkait Polemik Makam Palsu, Ini Jawaban Mujib Kepala Desa Ngujungrejo – Hos News

Warga Desak Transparansi dan Bongkar Makam Palsu Menyesatkan – Hos News

Mengambil sari dari 2 berita di atas, terdapat beberapa hal yang tampak jelas tidak dipahami oleh para Pemangku Desa (Pemerintah Desa, BPD dan Tokoh Masyarakat) serta oleh para Pengampu atau Pembina Desa dan Pengawas Desa baik tingkat Kecamatan dan Kabupaten.

Pembangunan makam yang diduga palsu atau fiktif ini sebenarnya tidak akan terjadi manakala para Pemangku dan Pengampu Desa memahami Tata Kelola Desa. Hal tersebut sesungguhnya dapat diantisipasi dengan kemampuan Tata Kelola Regulasi Desa dan Tata Kelola Pembangunan Desa serta Tata Kelola Keuangan Desa.

Dari dimensi Tata Kelola Regulasi Desa

Bahwa klaim adanya makam tokoh bersejarah di desa itu harus dimulai dengan diskripsi sejarah yang disusun oleh tim dengan Keputusan Kepala Desa. Hasil penyusunan tim tersebut oleh Kepala Desa dengan disertai Rancangan Peraturan Desa Tentang Sejarah Desa diajukan kepada BPD untuk Musdeskan untuk mendapatkan masukan sebagai tambahan informasi atau data dari masyarakat.

Selanjutnya BPD melakukan Musyawarah Pleno BPD untuk menyepakati Rancangan Peraturan Desa tersebut menjadi Peraturan Desa dengan Keputusan BPD. Berdasarkan Keputusan BPD tersebut Kepala Desa menetapkan Peraturan Desa tentang Sejarah Desa yang diteruskan pengundangannya oleh Sekretaris Desa.

Dengan demikian naskah sejarah desa itu harus dilegalkan atau dipatenkan dengan Peraturan Desa dan dipublikasikan, agar masyarakat mengetahuinya, terlebih bagi para generasi mendatang.

Dari dimensi Tata Kelola Pembangunan

Bahwa kegiatan pembangunan apa saja di desa itu harus berdasarkan apa yang tertuang atau yang disepakati dalam RPJM Desa yang setiap tahunnya dinukil untuk dituangkan dalam RKP Desa, jika terjadi hal baru yang perlu dilaksanakan, maka harus dilakukan perubahan RPJM Desa dulu, baru kemudian dapat diprogramkan dalam RKP Desa.

Perubahan RPJM Desa dan/atau RKP Desa harus melalui Musrenbang Desa, hasil Musrenbang Desa oleh Kepala Desa diajukan kepada BPD dam bentuk naskah Rancangan Perdes tentengan perubahan RPJM Desa dan RKP Desa. Terhadap hal tersebut bagi BPD jika memandang perlu dapat melanjutkan dengan menggelar Musdes untuk perihal tersebut.

Berikutnya BPD melakukan Musyawarah Pleno BPD untuk menyepakati Rancangan Peraturan Desa tersebut menjadi Peraturan Desa dengan Keputusan BPD. Berdasarkan Keputusan BPD tersebut Kepala Desa menetapkan Peraturan Desa tentang Perubahan RPJM Desa dan RKP Desa yang diteruskan pengundangannya oleh Sekretaris Desa.

Atas dasar sejarah yang telah ditetapkan yang ternyata benar di dalamnya terdapat diskripsi mengenai tokoh berikut makamnya, maka dalam musrenbang Desa dapat diusulkan program pembangunannya. Jadi tidak dibenarkan asal membangun yang tidak atau belum disepakati programnya. Disamping itu pembangunan desa itu harus aspiratif terhadap masyarakat, bukan atas pemaksaan oleh aparat.

Dari dimensi Tata Kelola Keuangan

Bahwa penganggaran dalam APB Desa itu harus singkron dengan program yang tersepakati dalam RPJM Desa dan RKP Desa dan seluruh kegiatan anggaran itu harus tertuang dalam APB Desa. Manakala terdapat kegiatan anggaran yang tidak berdasarkan APB Desa, maka hal tersebut sekurang-kurangnya dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penyalahgunaan anggaran dan tindak pidana penyalahgunaan wewenang.

Apabila BPD ikut menyepakatinya, maka BPD dapat dikenai pasal ikut bersama-sama dalam tindak pidana tersebut. Namun bila BPD mendiamkan saja, maka BPD juga dapat dikenai pasal pidana karena kelalaiannya.

PPID Desa

Bahwa dalam salah satu berita tersebut di atas terdapat frase parnyataan Sekdes: “Itu wilayahnya Pak Kades. Saya tidak bisa menjawab. Tapi nanti akan kami tindak lanjuti,” pernyataan ini menunjukkan kalau Sekdes tersebut tidak paham tugas dan fungsinya sebagai PPID di desa. Sekdes itu karena jabatannya, dia otomatis sebagai PPID Desa, yaitu sebagai pelayan informasi desa, sebagai juru bicara desa. Jadi Sekdes tidak patut mengelak sebagaimana pernyataan tersebut.

Pembina dan Pengawas Desa

“Mujib mengakui bahwa pembangunan tersebut sempat dipersoalkan hingga ke Majelis Ulama Indonesia (MUI) tingkat kecamatan, bahkan hingga ke kabupaten. Meski telah dipanggil dan mengikuti rapat bersama berbagai instansi, termasuk Kemenag, Satpol PP, dan Dinas Pariwisata, hasil akhirnya dinyatakan bahwa keputusan dikembalikan ke desa.”

Penjelasan Kepala Desa (Mujib) di atas menunjukan bahwa para Pembina Desa dan Pengampu Desa juga tidak paham dan tidak memiliki pengetahuan serta kemampuan tantang Tata Kelola Desa. Semestinya para Pembina Desa dan Pengampu Desa harus mengambil langka implementatif dengan merujuk pada Tata Kelola Regulasi, Tata Kelola Pembangunan dan Tata Kelola Keuangan Desa sebagaimana uraian di atas, bukan dengan putusan ”hasil akhirnya dinyatakan bahwa keputusan dikembalikan ke desa.” Ini menunjukkan para Pembina dan Pengampu Desa yang tidak mampu dan tidak bertanggungjawab.

Demikian urian ”belajar dari kasus” kali ini, semoga barokah. Aamiin….

*Penulis adalah Direktur Pusbimtek Palira

Bagikan manfaat >>

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ada yang bisa kami bantu? .
Image Icon
Profile Image
Bimtek Palira Perlu bantuan ? Online
Bimtek Palira Mohon informasi tentang bimtek :