KETIDAKSIAPAN PEMERINTAH DAERAH MENYONGSONG INDONESIA EMAS MELALUI GENERASI MUDA
Oleh: NUR ROZUQI*
Berikut adalah uraian lengkap mengenai lemahnya keseriusan mayoritas pemerintah kabupaten dan kota dalam mewujudkan cita-cita Indonesia Emas 2045 melalui pemberdayaan Generasi Milenial dan Generasi Z:
1. Latar Belakang: Indonesia Emas 2045 dan Peran Generasi Muda
Cita-cita Indonesia Emas 2045 adalah visi besar nasional untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maju, adil, dan sejahtera tepat saat usia kemerdekaan mencapai 100 tahun. Dalam visi ini, Generasi Milenial (lahir 1981–1996) dan Generasi Z (lahir 1997–2012) adalah aktor utama karena:
a. Mereka akan mendominasi usia produktif pada 2030–2045.
b. Mereka menjadi tulang punggung inovasi, kewirausahaan, dan kepemimpinan masa depan.
c. Mereka adalah penggerak transformasi digital, sosial, dan budaya.
Namun, di tingkat kabupaten/kota, semangat ini sering hanya menjadi jargon tanpa implementasi nyata.
2. Fenomena Sloganisme: Retorika Tanpa Aksi
Mayoritas pemerintah daerah menggaungkan semangat “pemuda sebagai agen perubahan” atau “bonus demografi” dalam pidato dan baliho, tetapi:
a. Tidak ada kebijakan konkret yang mendukung pengembangan kapasitas generasi muda.
b. Program kepemudaan bersifat seremonial, seperti lomba, festival, atau pelatihan satu hari tanpa tindak lanjut.
c. Tidak ada roadmap daerah yang mengintegrasikan peran pemuda dalam pembangunan jangka panjang.
3. Bukti Ketidaksiapan Struktural dan Kelembagaan
a. Tidak Ada Rencana Induk Kepemudaan Daerah (RIKD)
1) Sebagian besar kabupaten/kota belum menyusun RIKD sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan.
2) Tanpa RIKD, tidak ada arah kebijakan yang sistematis untuk pengembangan pemuda.
b. Lemahnya Peran Dinas Pemuda dan Olahraga
1) Dinas Pemuda sering digabung dengan olahraga, pariwisata, atau kebudayaan, sehingga fokus pada pemuda terpinggirkan.
2) Anggaran untuk program kepemudaan sangat kecil dibanding sektor lain.
c. Tidak Adanya Ekosistem Inovasi dan Kewirausahaan Pemuda
1) Inkubator bisnis, co-working space, dan pelatihan digital jarang difasilitasi oleh pemerintah daerah.
2) Akses pemuda terhadap pembiayaan, pasar, dan mentor sangat terbatas.
d. Minimnya Pelibatan Pemuda dalam Perencanaan Daerah
1) Musrenbangda jarang melibatkan forum pemuda secara substansial.
2) Tidak ada kuota atau mekanisme representasi pemuda dalam forum-forum strategis daerah.
4. Dampak dari Ketidaksiapan Ini
a. Generasi muda kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah daerah.
b. Potensi bonus demografi berubah menjadi beban demografi (pengangguran, frustrasi sosial).
c. Meningkatnya migrasi pemuda ke kota besar atau luar negeri karena tidak ada ruang berkembang di daerah.
d. Terjadi brain drain dan trust drain dari generasi muda terhadap sistem pemerintahan lokal.
5. Rekomendasi Strategis
a. Penyusunan dan Implementasi RIKD
1) Setiap kabupaten/kota wajib menyusun RIKD berbasis data kepemudaan lokal.
2) RIKD harus mengintegrasikan pendidikan, kewirausahaan, partisipasi politik, dan transformasi digital.
b. Reformasi Dinas Pemuda
1) Dinas Pemuda harus berdiri sendiri atau diberi mandat khusus dengan anggaran memadai.
2) Fokus pada fasilitasi, bukan sekadar pelaksanaan kegiatan.
c. Pembangunan Ekosistem Pemuda
1) Bangun pusat inovasi pemuda di setiap kabupaten/kota.
2) Fasilitasi akses ke modal, pelatihan, dan jaringan pasar.
d. Pelibatan Pemuda dalam Tata Kelola Daerah
1) Bentuk Dewan Pemuda Daerah sebagai mitra strategis pemerintah.
2) Wajibkan pelibatan pemuda dalam Musrenbang, RPJMD, dan forum CSR.
6. Penutup: Dari Retorika ke Revolusi Generasi
Jika pemerintah daerah tidak segera berbenah, maka cita-cita Indonesia Emas 2045 akan menjadi utopia yang gagal. Generasi Milenial dan Gen Z bukan sekadar objek pembangunan, tetapi subjek utama yang harus diberi ruang, kepercayaan, dan dukungan. Kebangkitan Indonesia dimulai dari keberanian daerah untuk berhenti berslogan dan mulai bertindak.
Terima kasih, semoga barokah, Aamiin…
*Penulis adalah
Direktur Pusbimtek Palira
Ketua Umum DPP LKDN

