MINIMNYA KEPEDULIAN PEMERINTAH DESA TERHADAP ORGANISASI KEPEMUDAAN
Oleh: NUR ROZUQI*
Fenomena nasional minimnya kepedulian pemerintah desa terhadap organisasi kepemudaan di hampir seluruh kabupaten dan kota di Indonesia:
1. Fakta Umum: Ketidakhadiran Dukungan Struktural dan Anggaran
Di berbagai daerah, organisasi kepemudaan desa—baik yang berada di bawah kewenangan langsung pemerintah desa seperti Karang Taruna, maupun organisasi pemuda berbasis komunitas, agama, seni, atau olahraga—mengalami marginalisasi. Beberapa fakta umum yang mencerminkan minimnya kepedulian pemerintah desa antara lain:
a. Tidak adanya alokasi anggaran rutin dalam APBDes untuk kegiatan kepemudaan.
b. Minimnya fasilitasi ruang kegiatan, pelatihan, atau program pemberdayaan pemuda.
c. Tidak adanya pendampingan kelembagaan atau pelibatan aktif dalam musyawarah desa dan perencanaan pembangunan.
2. Karang Taruna: Organisasi Formal yang Diabaikan
Karang Taruna, sebagai organisasi sosial kepemudaan yang diatur dalam berbagai regulasi (termasuk Permendagri dan Peraturan Bupati di banyak daerah), justru sering tidak difungsikan secara optimal:
a. Banyak desa tidak membentuk atau mengaktifkan Karang Taruna.
b. Pemerintah desa seringkali hanya menjadikan Karang Taruna sebagai formalitas administratif.
c. Kegiatan Karang Taruna bergantung pada inisiatif pemuda, bukan dukungan kelembagaan.
3. Organisasi Pemuda Non-Formal: Tidak Diakui, Tidak Dilibatkan
Organisasi pemuda berbasis komunitas, keagamaan, literasi, seni, dan olahraga tumbuh di desa-desa, namun:
a. Pemerintah desa jarang mengakui keberadaan mereka secara formal.
b. Tidak ada mekanisme pelibatan mereka dalam forum-forum desa.
c. Potensi mereka sebagai agen perubahan sosial tidak dimanfaatkan.
4. Faktor Penyebab
Beberapa akar masalah yang menyebabkan kondisi ini antara lain:
a. Kurangnya pemahaman aparatur desa tentang peran strategis pemuda dalam pembangunan partisipatif.
b. Orientasi pembangunan desa yang masih dominan fisik dan jangka pendek, mengabaikan aspek sosial dan penguatan SDM.
c. Tidak adanya sistem monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan regulasi kepemudaan di tingkat desa.
d. Minimnya tekanan dari masyarakat atau pemuda sendiri untuk menuntut hak dan ruang partisipasi.
5. Dampak Sosial dan Kelembagaan
Minimnya perhatian ini berdampak luas:
a. Pemuda desa kehilangan ruang aktualisasi, pembelajaran, dan kontribusi sosial.
b. Terjadi alienasi antara generasi muda dan pemerintahan desa.
c. Potensi konflik sosial meningkat karena pemuda merasa tidak diakui.
d. Regenerasi kepemimpinan lokal terhambat karena tidak ada proses kaderisasi.
6. Rekomendasi Tindakan
Untuk mengatasi masalah ini, beberapa langkah strategis dapat dilakukan:
a. Revisi dan sosialisasi regulasi kepemudaan desa agar lebih operasional dan terukur.
b. Wajibkan desa mengalokasikan anggaran minimal untuk organisasi kepemudaan dalam APBDes.
c. Bangun mekanisme pelibatan pemuda dalam Musrenbangdes dan forum-forum desa.
d. Fasilitasi pelatihan bagi aparatur desa tentang pentingnya organisasi kepemudaan sebagai mitra pembangunan.
e. Dorong pemuda untuk membentuk forum komunikasi lintas organisasi sebagai wadah advokasi dan kolaborasi.
Terima kasih, semoga barokah, Aamiin…
*Penulis adalah
Direktur Pusbimtek Palira
Ketua Umum DPP LKDN

