PTSL (PEMALAKAN URUSAN TANAH DENGAN SISTEM YANG DILEGALKAN)

PTSL (PEMALAKAN URUSAN TANAH DENGAN SISTEM YANG DILEGALKAN)
(belajar dari kasus)
Oleh: Nur Rozuqi*

Tulisan ini hasil tela’ah atas kasus sebagaimana diberitakan dalam tautan berikut:
asatunet.com

Manakala kita cermati uraian pada berita dalam tautan tersebut di atas, terdapat beberapa kata dan frase substansial yang patut untuk ditela’ah, antara lain:
1) Berbekal Surat Keputusan (SK) yang ditandatangani Kepala Desa;
2) menentukan pungutan;
3) dengan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit … mengajukan proses ukur ulang ke kantor pertanahan;
4) meskipun sering bersitegang dengan perangkat desa setempat;
5) pemohon mengaku dimintai biaya Rp 1,7 juta dan Rp 2,2 juta;
6) Saya juga saat pemasangan patok dan pengukuran tidak merasa disuruh datang ke objek. Dan lagi, semestinya saya dan tetangga batas harus membubuhkan tandatangan pada berkas persyaratan PTSL oleh kantor pertanahan. Tapi faktanya tidak tandatangan sama sekali;
7) Tidak adanya dokumen pertanggungjawaban secara administrasi itu diduga dipicu dari pihak mantan kepala desa tidak menyampaikan pelimpahan pertangungjawaban kepada kepala desa yang baru, itu lantaran Ketua Pokmas tidak pernah melaporkankannya kepada mantan kades bahkan pembubaran Pokmas PTSL pun mantan tidak tahu menahu, apalagi laporan keuangannya

Telaa’ah yang dapat kita paparkan atas 7 frase yang substansial sebagaimana tersebut di atas adalah:

1. Bahwa Panitia Pelaksana Program PTSL di tingkat desa itu tidak cukup dengan payung hukum Keputusan Kepala Desa, tetapi harus dipayungi dengan Peraturan Desa yang mengatur seluruh SOP kerjanya. Hal ini sebagaimana diatur dalam Peraturan Bupati Lamongan Nomor 22 Tahun 2018, pada Pasal 5 Ayat (10). Oleh karenanya apabila desa ada program PTSL tetapi tidak ada Perdesnya, maka program tersebut ilegal, biaya yang dibayarkan pemohon masuk pada pasal pidana pungli.

2. Bahwa frase ”menentukan pungutan” dalam program PTSL itu bukan kewenangan Panitia Pelaksana, malainkan kewenangan dalam musyawarah antara Pemerintah Desa, BPD dan masyarakat calon pemohon PTSL yang merumuskan substansi-substansi Perdes PTSL. Karena terbentuknya panitia itu setelah diundangkannya Perdes.

3. Bahwa frase ”dengan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit” ketika mengajukan ukur ulang ini semestinya tidak terjadi manakala Panitia mengerti tugas dan tanggungjawabnya yang diatur dalam Perdes, demikian juga dengan pihak Badan Pertanahan. Karena semua itu sudah incloud sebagaimana besarnya biaya yang ditetapkan dalam Perdes.

4. Bahwa frase ”meskipun sering bersitegang dengan perangkat desa setempat” ini mestinya tidak boleh terjadi. Karena Pemerintah Desa itu pelayan masyarakat, karena pelayan, maka harus banyak mengalah dan bijak bersikap.

5. Bahwa frase ”pemohon mengaku dimintai biaya Rp 1,7 juta dan Rp 2,2 juta” ini memberi petunjuk kalau desa yang melaksanakan program PTSL sebagaimana yang disebutkan dalam tautan berita di atas tidak menerbitkan Perdes dulu sebelum melaksanakan program. Sebagai referensi, bahwa keseluruhan besaran biaya PTSL di kabupaten lamongan berdasarkan Perbut Nomor 22 tahun 2018, sebesar Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah). Jika ada yang lebih dari itu, maka itu jelas pidana pungli, rakyat dapat melaporkannya ke Kepolisian ataupun kejaksaan.

6. Bahwa alenia ”Saya juga saat pemasangan patok dan pengukuran tidak merasa disuruh datang ke objek. Dan lagi, semestinya saya dan tetangga batas harus membubuhkan tandatangan pada berkas persyaratan PTSL oleh kantor pertanahan. Tapi faktanya tidak tandatangan sama sekali” ini memberi petunjuk dimungkinkan adanya pemalsuan tanda tangan oleh pihak tertentu atas penentuan batas bidang. Sungguh memperihatinkan kondisi kinerja panitianya.

7. Bahwa alenia ”Tidak adanya dokumen pertanggungjawaban secara administrasi itu diduga dipicu dari pihak mantan kepala desa tidak menyampaikan pelimpahan pertangungjawaban kepada kepala desa yang baru, itu lantaran Ketua Pokmas tidak pernah melaporkankannya kepada mantan kades bahkan pembubaran Pokmas PTSL pun mantan tidak tahu menahu, apalagi laporan keuangannya” ini juga memberi petunjuk kalau Panitia Pelaksana PTSL, Pemerintah Desa dan BPD nya tidak bertanggungjawab atas uang yang dipungut dari masyarakat yang seharusnya dipertanggungjawabkan secara terbuka di hadapan masyarakat dalam forum musyawarah dengan menyertakan seluruh bukti pengeluarnnya. Manakala hingga saat ini hal tersebut belum dilakukan oleh Panitianya, maka rakyat bisa menuntunya.

Sebagai catatan, kasus ini mari kita jadikan pelajaran, agar tidak terjadi di desa pembaca semua. Namun jika terjadi, pembaca bisa menjadikan tela’ah ini sebagai referensi yang layak dipedomani.
Selanjutnya sebagai bukti tela’ah ini benar-benar memiliki landasan hukum yang tepat, berikut silakan unduh peraturannya di bawah ini:

Permen No. 6 Th. 2018-Pendaftaran tanah Sistematis Lengkap (PTSL)

SKB 3 MENTERI ATR.BPN.KEMENDAGRI.KEMENDES

PERBUP NO 22 TAHUN 2018 Kab Lamongan

*penulis adalah Direktur Pusbimtek Palira.

 

Bagikan manfaat >>

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ada yang bisa kami bantu? .
Image Icon
Profile Image
Bimtek Palira Perlu bantuan ? Online
Bimtek Palira Mohon informasi tentang bimtek :