SUMPAH PEMUDA JILID 2 GENERASI MILENIAL DAN GEN Z DALAM MENYONGSONG INDONESIA EMAS 2045
Oleh: NUR ROZUQI*
A. Pendahuluan: Dari Ikrar Historis ke Tanggung Jawab Masa Kini
Sumpah Pemuda 1928 adalah tonggak persatuan bangsa yang lahir dari kesadaran kolektif pemuda lintas suku dan daerah. Kini, hampir satu abad kemudian, Indonesia menghadapi tantangan baru: mewujudkan Indonesia Emas 2045 visi strategis untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maju, adil, dan berkelanjutan. Dalam konteks ini, muncul gagasan “Sumpah Pemuda Jilid 2” sebagai bentuk ikrar baru generasi muda, khususnya Milenial dan Gen Z, untuk mengambil peran aktif dalam pembangunan nasional.
Namun, gagasan ini perlu dikaji secara kritis: apakah benar generasi muda siap, dan apakah negara sungguh-sungguh memberi ruang?
B. Analisis Kritis
1. Potensi Generasi Milenial dan Gen Z: Modal atau Ilusi?
Generasi Milenial dan Gen Z memiliki karakteristik yang menjanjikan:
a. Melek teknologi dan adaptif terhadap perubahan.
b. Kritis, terbuka, dan kolaboratif.
c. Peduli pada isu sosial dan lingkungan.
Namun, potensi ini sering kali menjadi retorika belaka. Banyak kebijakan publik belum mengakomodasi kebutuhan dan aspirasi mereka secara sistemik. Bonus demografi bisa berubah menjadi beban demografi jika tidak dikelola dengan baik.
Kritik:
Pemerintah sering memuji generasi muda sebagai “harapan bangsa” tetapi tidak menyediakan ekosistem yang mendukung partisipasi, inovasi, dan kepemimpinan mereka.
2. Ruang Partisipasi: Simbolik atau Substantif?
Sumpah Pemuda Jilid 2 menuntut ruang partisipasi yang nyata:
a. Dalam perencanaan pembangunan desa dan daerah.
b. Dalam pengambilan keputusan kebijakan publik.
c. Dalam pengelolaan sumber daya dan inovasi lokal.
Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan:
a. Musrenbangdes dan forum-forum daerah jarang melibatkan pemuda secara substansial.
b. Organisasi kepemudaan seperti Karang Taruna sering difungsikan secara seremonial.
c. Pemuda desa tidak diberi ruang dalam struktur pemerintahan lokal.
Kritik:
Partisipasi pemuda masih bersifat kosmetik. Mereka diundang untuk hadir, bukan untuk mempengaruhi.
3. Ketimpangan Akses dan Kesenjangan Digital
Indonesia Emas 2045 menuntut generasi muda yang unggul secara digital, sosial, dan ekonomi. Namun:
a. Akses terhadap pendidikan berkualitas dan teknologi masih timpang antar wilayah.
b. Pemuda di desa tertinggal tidak memiliki fasilitas pelatihan, mentor, atau jaringan.
c. Banyak program kewirausahaan pemuda tidak berkelanjutan dan tidak kontekstual.
Kritik:
Pemerintah pusat dan daerah belum serius membangun ekosistem pemuda yang inklusif dan berkelanjutan.
4. Organisasi Kepemudaan: Lemahnya Pembinaan dan Regenerasi
Sumpah Pemuda Jilid 2 seharusnya menjadi momentum revitalisasi organisasi kepemudaan. Namun:
a. Dinas Sosial sebagai pembina teknis Karang Taruna sering lalai dalam tugasnya.
b. Tidak ada sistem monitoring dan evaluasi organisasi pemuda di tingkat desa.
c. Regenerasi kepemimpinan lokal terhambat karena tidak ada proses kaderisasi yang sehat.
Kritik:
Tanpa pembinaan kelembagaan yang serius, organisasi pemuda hanya menjadi wadah kegiatan hiburan, bukan penggerak perubahan.
C. Kesimpulan: Dari Retorika ke Revolusi Generasi
Sumpah Pemuda Jilid 2 adalah gagasan yang kuat secara simbolik, tetapi lemah secara struktural jika tidak diikuti dengan:
1. Reformasi kebijakan kepemudaan di tingkat desa, daerah, dan nasional.
2. Pembangunan ekosistem partisipatif, inovatif, dan berkelanjutan bagi generasi muda.
3. Pelibatan pemuda dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan sumber daya.
Tanpa itu, Indonesia Emas 2045 hanya akan menjadi slogan yang gagal. Generasi Milenial dan Gen Z bukan sekadar pewaris, tetapi harus menjadi penggerak—dengan ruang, dukungan, dan kepercayaan yang nyata.
Terima kasih, semoga barokah, Aamiin…
*Penulis adalah
Direktur Pusbimtek Palira
Ketua Umum DPP LKDN

