PEMBINAAN DESA YANG GAGAL
Desa itu biarkan membangun, jangan dibangun, apalagi kita sudah sepakat melalui Undang-undang Desa bahwa kita sepakat merubah konsep “membangun desa” menjadi “desa membangun”. Dalam konsep ini, kewenangan Pemerintah, Pemerintah Popinsi dan Pemerintah kabupaten/Kota tinggal sebatas membina dan mengawasi. Hal tersebut juga diatur dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Daerah, beserta perubahannya dan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2018 Tentang Kecamatan.
Dalam konsep Desa Membangun, hal yang harus dilakukan awal adalah menata landasannya, bukan bangunannya. Landasan tersebut meliputi:
1. Tata Kelola Regulasi Desa,
2. Tata Kelola Pemerintahyan Desa,
3. Tata Kelola Administrasi Desa,
4. Tata Kelola Pembangunan Desa,
5. Tata Kelola Keuangan Desa,
6. Tata Kelola Laporan Desa.
Manakala keenam tata kelola tersebut tidak didahulukan, program pembangunan apapun yang dilaksanakan di desa, dijamin pasti gagal (ambruk).
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, seharusnya sejak efektif diberlakukan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, Pemerintah, pemerintah propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota secara mandatory harus membentuk Tim PTPD (Pembina Teknik Pemeritahan Desa). Tetapi faktanya hingga akhir tahun 2022 ini PTPD belum dibentuk oleh para pembina desa. Hal ini memberi bukti bahwa para pembina desa tidak serius mengurus desa. Akibatnya adalah Pemerintah telah gagal membina desa. Sebagai bukti atas kegagalan tersebut antara lain:
1. Mayoritas desa dijalankan dengan minim kepemilikan peraturan tingkat desa yang seharusnya dimiliki desa berdasarkan rekognisi dan subsidiaritas desa. Desa mirip dengan rimba.
2. Maytoritas kelembagaan desa dibentuk hanya untuk memenuhi syarat formalitas belaka, tugas dan fungsinya tidak berjalan sebagaimana ataurannya. Bahkan banyak perangkat desa dan BPD tidak menjalankan tugas dan fungsinya.
3. Penyelenggaraan administrasi desa mayoritas compang-camping dan amburadul baik administrasi regulasi, registrasi, korespondensi maupun kearsipan desa, para penyelenggara administrasi desa mayoritas tanpa bekal ilmu tata kelola administrasi desa yang baik dan benar.
4. Perencanaan desa lebih dominan hanya memenuhi kemauan elit desa dan bahkan entervensi pembina desa. Musyawarah Desa sekedar formalitas, rakyat tidak diberi ruang partisipasi aktif, bahkan dimarjinalkan.
5. Pelaksanaan kegiatan dan pengelolaan keuangan desa cenderung terbuka hanya kepada individu atau jabatan tertentu saja, tertutup bagi masyarakat bahkan bagi BPD juga banyak yang tertutup. Padahal BPD dan masyarakat adalah Pengawas Internal.
6. Laporan pelaksanaan kegiatan dan realisasi anggaran keuangan mayoritas penuh dengan rekayasa, BPD sebagai lembaga evaluasi mayoritas tidak mampu berbuat banyak, tragisnya masyarakat pun dibuat sulit mengakses dokumen pelaksanaan kegiatan dan realisasi anggaran desanya.
Terima kasih, semoga barokah, Aamiin…
Penulis adalah
Direktur Pusbimtek Palira
Ketua Umum DPP LKDN