PERPANJANGAN MASA JABATAN POLITIK DESA

PERPANJANGAN MASA JABATAN POLITIK DESA

Antara Stabilitas Pembangunan dan Ancaman Demokrasi Akar Rumput

Oleh: NUR ROZUQI*

Perubahan masa jabatan kepala desa dan anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dari enam menjadi delapan tahun melalui revisi Undang-Undang Desa telah memicu perdebatan di berbagai kalangan. Di satu sisi, kebijakan ini dianggap memberi ruang lebih luas bagi stabilitas pembangunan desa. Namun di sisi lain, terdapat kekhawatiran bahwa perpanjangan masa jabatan justru berpotensi melemahkan demokrasi lokal, akuntabilitas, dan partisipasi warga. Artikel ini mengulas secara mendalam dampak multidimensional dari kebijakan tersebut terhadap masyarakat desa.

1. Demokratisasi dan Akuntabilitas: Ruang Evaluasi yang Menyempit

Salah satu pilar utama demokrasi adalah sirkulasi kepemimpinan yang sehat dan berkala. Perpanjangan masa jabatan kepala desa dari enam menjadi delapan tahun berpotensi menghambat dinamika tersebut. Dampaknya antara lain:

a. Menurunnya frekuensi evaluasi politik oleh warga, karena kesempatan untuk mengganti pemimpin menjadi lebih jarang.
b. Terjadinya kejenuhan psikologi politik masyarakat, terutama jika kepemimpinan tidak menunjukkan perubahan atau inovasi.
c. Akuntabilitas kinerja kepala desa berkurang, karena tekanan elektoral menjadi lebih lemah dan siklus pertanggungjawaban semakin panjang.

Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat mengancam demokrasi di akar rumput, menjadikan desa sebagai ruang politik yang stagnan dan kurang responsif terhadap aspirasi warga.

2. Tata Kelola dan Partisipasi Publik: Ketimpangan Kepentingan

Revisi Undang-Undang Desa yang memperpanjang masa jabatan sering kali lebih menguntungkan elite politik lokal daripada memperkuat prinsip-prinsip tata kelola yang baik. Beberapa dampak yang muncul:

a. Menurunnya partisipasi publik, karena warga merasa suara mereka kurang berdampak terhadap perubahan kepemimpinan.
b. Kelemahan transparansi dan legitimasi kebijakan desa, terutama jika proses perencanaan dan pelaksanaan program tidak melibatkan warga secara aktif.
c. Risiko pengabaian prinsip inklusivitas, di mana kelompok marginal di desa semakin sulit mengakses ruang pengambilan keputusan.

Jika tidak diimbangi dengan mekanisme partisipatif dan transparan, perpanjangan masa jabatan dapat memperlebar jarak antara pemerintah desa dan masyarakatnya.

3. Pembangunan dan Ekonomi Lokal: Peluang dan Tantangan

Di sisi positif, masa jabatan yang lebih panjang memberi kepala desa waktu lebih luas untuk merancang dan mengeksekusi program pembangunan secara berkelanjutan. Potensi manfaatnya meliputi:

a. Konsistensi dalam pelaksanaan RPJMDes dan program prioritas desa
b. Efisiensi dalam pengelolaan sumber daya dan anggaran desa
c. Peluang membangun kemitraan jangka panjang dengan pihak eksternal

Namun, tantangan besar muncul jika pengawasan tidak berjalan efektif. Meskipun alokasi dana desa meningkat dari 10% menjadi 20%, tanpa kontrol yang ketat, potensi penyalahgunaan dana sangat tinggi. Akibatnya, manfaat ekonomi bagi masyarakat desa bisa tidak maksimal, bahkan merugikan.

4. Risiko Korupsi, Nepotisme, dan Oligarki Lokal

Perpanjangan masa jabatan juga membuka ruang bagi terbentuknya oligarki lokal dan dinasti politik keluarga. Beberapa risiko yang perlu diwaspadai:

a. Korupsi yang semakin marak, sebagaimana dicatat oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menunjukkan peningkatan kasus korupsi desa sejak 2022.
b. Nepotisme dalam penempatan perangkat desa, yang merugikan warga biasa dalam mengakses layanan publik.
c. Konsolidasi kekuasaan oleh segelintir elite, yang dapat menghambat regenerasi kepemimpinan dan inovasi kebijakan.

Tanpa mekanisme kontrol yang efektif, desa bisa berubah menjadi ruang kekuasaan tertutup yang tidak lagi mencerminkan semangat demokrasi dan pelayanan publik.

5. Strategi Mitigasi: Membangun Demokrasi Desa yang Tangguh

Untuk menanggulangi dampak negatif dari perpanjangan masa jabatan politik desa, diperlukan langkah-langkah strategis yang berbasis partisipasi dan pengawasan warga:

a. Mengoptimalkan peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai lembaga pengawas dan penyalur aspirasi masyarakat.
b. Mendorong transparansi anggaran dan pelaporan program publik, melalui musyawarah desa dan pemanfaatan portal informasi desa.
c. Memperkuat pendidikan politik warga, agar partisipasi dalam Pilkades dan pengawasan pasca-pemilihan berjalan lebih efektif dan berkelanjutan.

Dengan pendekatan yang partisipatif dan berbasis kontrol sosial, masyarakat desa dapat menjaga agar perpanjangan masa jabatan tidak menjadi ancaman, melainkan peluang untuk membangun tata kelola yang lebih stabil, inklusif, dan berorientasi pada kepentingan publik.

Terima kasih, semoga barokah, Aamiin…

*Penulis adalah
Direktur Pusbimtek Palira
Ketua Umum DPP LKDN

Bagikan manfaat >>

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ada yang bisa kami bantu? .
Image Icon
Profile Image
Bimtek Palira Perlu bantuan ? Offline
Bimtek Palira Mohon informasi tentang bimtek :