Antara Desa Nusantara Dengan Rimba Nusantara
Dalam sekian topik diskusi baik di media sosial maupun secara tatapo muka yang selama ini kita ikuti, sangat dirasakan kalau para pemangku dan aparatur desa serta para pembina desa di Indonesia sampai sekarang ini mayoritas masih belum banyak pengetahuan dan keterampilannya dalam menyusun atau membuat produk hukum di desa.
Eronisnya dalam rentang waktu 7 (tujuh) tahun berjalan berlakunya Undang-Undang Desa ini, sangat sedikit para pembina desa bahkan hampir tidak ada yang melakukan pembinaan atau bimbingan teknis secara inten dan serius terkait hal tersebut. akibatnya Desa laksana Rimba.
Mencermati kondisi sebagaimana paparan singkat di atas bila disarikan dapat disebabkan oleh:
1. Hadirnya Perangkat Desa baru yang latar akademisinya tidak linear dengan jabatan dalam Pemerintah Desa.
2. Di beberapa daerah masih terjadi beragam modus mall praktik rekrutment perangkat desa.
3. Lahirnya kepala Desa yang latar akademisi, pengalaman, keterampilan, dan motivasinya tidak kompatibel dengan kedudukan dan jabatan yang diembannya.
4. BPD yang lemah dan dilemahkan, serta kurang bahkan tidak menyadari sebagai pengemban amanah demokrasi rakyat, yang salah satu penyebabnya adalah antara tugas yang diemban dengan penghargaan yang diterima tidak berbanding lurus.
5. Banyaknya personal yang tupoksinya jabatannya membidangi sebagai pembina teknis tetapi tidak memiliki kopetensi yang memadahi.
6. Ketidakpedulian para pembina desa terhadap regulasi di desa binaannya.
7. Masih banyak oknum yang memanfaatkan kondisi dengan membuka praktik jahit menjahit perdes.
8. Malasnya belajar tentang regulasi di desa bagi para pemangku dan aparatur desa.
9. Sikap apatis dan ketidak tahuan rakyat desa karena sulitnya mengakses dokumen publik desa.
Sementara yang kita pahami bahwa negara Indonesia ini negara hukum dan hukum yang di ikuti adalah hukum positif, artinya tata kelola pemerintahan desa dan atau desa adat itu juga harus berdasarkan hukum atau aturan tertulis. Namun realitanya jauh dari panggang bukan?
Nah Selanjutnya apa akibat yang terjadi?, antara lain dapat dirincikan sebagai berikut:
1. Mayoritas desa dijalankan tanpa peraturan tertulis yang menjadi kewenangannya, sehingga desa tidak mampu mangambil kedaulatannya sebagaimana amanat Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 terkait dengan kewenangan rekognisi dan subsidairitas.
2. Potret desa laksana desa dizaman paska prasejarah, dimana mengatur desa lebih banyak berdasarkan konsesus lisan dan kebiasaan semata.
3. Banyak desa yang hanya punya perdes RKPDes dan APBDes serta LPPDes dan LPR APBDes saja. Itupun BPD tidak mengetahuinya, anehnya para pembinapun juga menerima saja perdes-perdes tersebut tanpa dicek kebenaran prosesnya.
Solusi atas kondisi dan problematika dim atas antara lain:
1. Para pembina harus menempatkan personal yang memiliki kapasitas yang mampu dan mau melakukan pembinaan teknis penyusunan dan pembuatan Peraturan di desa secara inten dan serius.
2. Para pemangku dan aparatur desa harus mau belajar dan mengikuti dinamika regulasi yang mengatur tentang desa.
3. Rakyat desa juga harus kuat daya kontrolnya terhadap Pemerintahan Desa, membantu mengatasi krisis regulasi di desanya.
4. Kerjasama dengan akademisi dan praktisi hukum dalam penyusunan dan pembuatan peraturan di desa.
Sebagai akhir paparan ini, mari kita baca Berikut ini regulasi apa saja yang perlu dan seharusnya dimiliki desa atau desa adat baik Peraturan Desa, Peraturan Kepala Desa, Keputusan Kepala Desa, dan Peraturan Bersama Kepala Desa.
Silakan baca file di bawah ini:
REGULASI DESA DAN DESA ADAT-Revisi ke-3
Terimakasih. Semoga barokah. Aamiin..
Penulis adalah:
Direktur PusBimtek Palira.
Ketua Umum DPP LKDN.