MODUS KORUPSI APBDes
Manakala dicermati, ada beberapa beberapa modus aparatur dalam melakukan penyelewengan APBDes yang dilakukan baik secara personal maupun komunal dengan modus yang beragam yang secara ringkas dapat diuraikan antara lain:
1. Membuat rancangan anggaran biaya di atas harga pasar. Cara ini terjadi karena kong kalikong antara aparatur dengan konsultan perencana, sehingga penggelembungan harga pun terjadi. Pada proses ini, pengawasan tidak maksimal dilakukan, sehingga terbuka ruang mark up yang berpotensi pada kerugian desa secara menyeluruh. Ini pola awal yang bisa terlihat.
2. Sisa dana yang terpakai sementara, atau meminjam tanpa mengembalikan kepada rekening kas desa. Ini juga terjadi dan sulit terendus, karena faktor kerikuhan jika persoalan ini ditanyakan.
3. Pungutan dan pemotongan lainnya dengan berbagai modus, baik oleh oknum tertentu di level kecamatan maupun dengan dalih pelaksanaan program peningkatan kapasitas serta studi banding. Ini juga terendus ada indikasi penyelewengan dana desa masuk dalam kantong pribadi.
Jika dilihat sejak diberlakukannya UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa, selain dari semakin akutnya perilaku korup para aparatur yang berkaitan dengan penyelenggaraan desa, juga ada tiga kelemahan pengawasan yang bisa disimpulkan secara garis besar sebagai berikut:
1. Lemahnya Badan Permusyawaratan Desa (BPD), ini terlihat dari tingkat kapasitas BPD yang masih belum mamahami secara detail dan menyeluruh mengenai mekanisme pengelolaan dana desa.
2. Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) yang ada di desa tidak efektif mengambil peran pengawasan. Apalagi desa yang sama sekali belum adanya lembaga-lembaga pemberdayaan, ini akan menjadi lebih mudah terbukanya peluang penyalahgunaan keuangan desa. Termasuk lemahnya asistensi lembaga pengawasan di tingkat kabupaten.
3. Lemahnya pengawasan akibat budaya kita yang masih feodalistik serta masih mengakar di kalangan masyarakat desa. Jika ada tokoh dan warga yang melakukan pengawasan, maka dengan mudah menjadi lawan atau “musuh” bersama dengan perangkat atau kelompok lainnya.
Kondisi ini membuat sebagian warga akan bersikap pesimis, lalu tidak aktif menjadi kontrol dan pengawasan yang seharusnya menjadi milik warga. Kondisi feodalisme ini kerap berimbas kepada persoalan sosial lainnya. Sehingga penerapan Pasal 68 UU No.6 Tahun 2014 yang mengatur hak dan kewajiban masyarakat desa untuk mendapatkan akses dan perlu dilibatkan dalam pembangunan desa tidak berjalan maksimal.
Solusi ideal dan efektinya dalam upaya pencegahan korupsi APBDes adalah;
1. Pelibatan masyarakat menjadi faktor penting dan mendasar karena mereka bagian yang paling mengetahui kebutuhan di desa secara langsung, baik pemetaan kebutuhan, perencanaan, pengelolaan hingga pertanggungjawaban.
2. Peningkatan kapasitas kepada BPD atau lembaga pemberdayaan yang ada di desa.
3. Peningkatan penguatan lainnya diberikan kepada aparatur pemerintahan dan pengelola teknis yang terkait dengan keuangan desa. Termasuk penguatan untuk memantapkan dan sosialisasi regulasi terkait dengan keuangan desa.
4. Perlu diberikan fasilitas dan difasilitasi mengenai bantuan pengamanan, jika ada tindakan maupun laporan terkaitan adanya indikasi penyelewengan.
5. Selanjutnya, ruang fasilitasi penanganan masalah dan penegakan hukum terhadap pengelolaan dana desa. Hal ini terkait juga dengan informasi dan peraturan data dana desa.
6. Keterbukaan akses informasi terkait dana desa harus terpublikasi dengan detail. Ini berkaitan dengan Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2018 tentang Standart Layanan Informasi Publik Desa (SLIP Desa). Perki ini memang dibuat dengan tujuan mewujudkan penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang baik, transparan, efektif, efisien, bersih, dan akuntabel, yang dirancang untuk mencegah korupsi di lingkungan badan publik pemerintahan desa.
PerKI no 1 th 2018 ttg PPID Des
Terimakasih. Semoga barokah. Aamiin..
Penulis adalah:
Direktur PusBimtek Palira
Ketua Umum DPP LKDN
Pengelolaan dana desa kami dicurigai banyak yang tidak realistis