CARA MELAPORKAN KORUPSI DI DESA
Untuk menjawab pertanyaan sebagaimana judul di atas, kita berpedoman pada Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa (“UU Desa”). Namun ketentuan lebih lanjut secara khusus terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (“PP 60/2014”) sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (“PP 22/2015”) dan terakhir diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (“PP 8/2016”).
Keuangan Desa
Keuangan Desa adalah semua hak dan kewajiban Desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Desa.[1] Hak dan kewajiban menimbulkan pendapatan, belanja, pembiayaan, dan pengelolaan Keuangan Desa.[2]
Pendapatan Desa bersumber dari:[3]
a. pendapatan asli Desa terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli Desa;
b. alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
c. bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota;
d. alokasi dana Desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota;
e. bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota;
f. hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; dan
g. lain-lain pendapatan Desa yang sah.
Alokasi Dana Desa
Menurut Pasal 1 angka 9 Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (“PP 47/2015”) yang dimaksud dengan Alokasi Dana Desa (“ADD”) adalah dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus.
Pemerintah daerah kabupaten/kota mengalokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota ADD setiap tahun anggaran.[4]
ADD tersebut paling sedikit 10% dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus.[5] Dalam rangka pengelolaan Keuangan Desa, Kepala Desa melimpahkan sebagian kewenangan kepada perangkat Desa yang ditunjuk.[6]
Bagi Kabupaten/Kota yang tidak memberikan ADD Pemerintah dapat melakukan penundaan dan/atau pemotongan sebesar alokasi dana perimbangan setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus yang seharusnya disalurkan ke Desa.[7]
ADD dibagi kepada setiap Desa dengan mempertimbangkan:[8]
a. kebutuhan penghasilan tetap kepala Desa dan perangkat Desa; dan
b. jumlah penduduk Desa, angka kemiskinan Desa, luas wilayah Desa, dan tingkat kesulitan geografis Desa.
Ketentuan mengenai pengalokasian ADD dan pembagian ADD kepada setiap Desa ditetapkan dengan peraturan bupati/walikota.[9]
Penjelasan lebih lanjut mengenai dana desa dapat Anda simak dalam artikel Pengalokasian, Penyaluran, dan Pengawasan Dana Desa.
Jadi salah satu sumber pendapatan desa adalah ADD yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota. ADD tersebut paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus. Dalam rangka pengelolaan Keuangan Desa, Kepala Desa melimpahkan sebagian kewenangan kepada perangkat Desa yang ditunjuk.
Jika Perangkat Desa Menyalahgunakan ADD
Perangkat Desa terdiri atas:[10]
a. sekretariat Desa;
b. pelaksana kewilayahan; dan
c. pelaksana teknis.
Perangkat Desa bertugas membantu Kepala Desa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.[11] Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, perangkat Desa bertanggung jawab kepada Kepala Desa.[12]
Perangkat Desa dilarang:[13]
1. merugikan kepentingan umum;
2. membuat keputusan yang menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain, dan/atau golongan tertentu;
3. menyalahgunakan wewenang, tugas, hak, dan/atau kewajibannya;
4. melakukan tindakan diskriminatif terhadap warga dan/atau golongan masyarakat tertentu;
5. melakukan tindakan meresahkan sekelompok masyarakat Desa;
6. melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme, menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yang dapat memengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya;
7. menjadi pengurus partai politik;
8. menjadi anggota dan/atau pengurus organisasi terlarang;
9. merangkap jabatan sebagai ketua dan/atau anggota Badan Permusyawaratan Desa, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, dan jabatan lain yang ditentukan dalam peraturan perundangan-undangan;
10. ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala daerah;
11. melanggar sumpah/janji jabatan; dan
12. meninggalkan tugas selama 60 (enam puluh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang jelas dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Perangkat Desa yang melanggar larangan tersebut dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan dan/atau teguran tertulis.[14] Dalam hal sanksi administratif tidak dilaksanakan, dilakukan tindakan pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan dengan pemberhentian.[15]
Jadi, pada hakikatnya, dalam menjalankan tugasnya, perangkat desa dilarang untuk menyalahgunakan wewenangnya. Bagi yang melanggarnya, perangkat desa yang bersangkutan bisa dikenakan sanksi administratif.
Selain itu, perbuatan tersebut dapat juga dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Untuk itu, kita merujuk pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“ UU 31/1999”) sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dimana ada ancaman pidana bagi orang yang menyalahgunakan wewenangnya yang berakibat dapat merugikan keuangan negara.
Pasal 3 UU 31/1999, berbunyi:
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp1 milyar.
Hal serupa juga disebutkan dalam artikel Jokowi: Salah Kelola Dana Desa Bisa Jadi Tersangka Korupsi sebagaimana yang kami akses dari laman media Tempo, Presiden Joko Widodo mengingatkan para kepala desa agar menggunakan dana desa dengan baik karena bisa berujung menjadi tersangka korupsi. Dana desa tersebut harus digunakan untuk pembangunan desa.
Jadi, jika itu berkaitan dengan penyalahgunaan keuangan desa seperti penyalahgunaan ADD, maka perbuatan tersebut bisa dikategorikan korupsi.
Langkah Hukum yang Dapat Dilakukan Masyarakat
Sebagaimana menurut informasi yang kami akses dalam artikel Bagaimana Cara Melaporkan Perangkat Desa Menyelewengkan Dana Desa-Lapor yang kami akses dari laman Sarana Pengaduan dan Aspirasi (SaPa) Kementerian Dalam Negeri, dalam melaporkan adanya tindak dugaan penyelewangan dana desa, masyarakat dapat mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
a. Masyarakat dapat membuat pelaporan atau pengaduan kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD) setempat serta kepada Pemerintah Supra Desa (Kecamatan), mengenai obyek kegiatan serta perkiraan nilai kerugian yang diselewengkan.
b. Dalam pelaporan ataupun pengaduan tersebut, perlu disertai dengan penjelasan konkrit mengenai obyek kegiatan yang menjadi dugaan tindak penyelewengan. Hal ini untuk menghindari persepsi bahwa laporan yang dilakukan hanya didasarkan atas informasi yang tidak utuh, atau praduga-praduga yang tidak berdasar. Oleh karena itu, disarankan kepada masyarakat desa, dalam menjalankan fungsi pengawasan pembangunan diwilayahnya, kiranya perlu mengedepankan upaya-upaya dialogis, dengan meminta penjelasan/konfirmasi mengenai indikasi terjadinya korupsi kepada pihak yang dicurigai terlibat melakukan tindakan penyelewangan tersebut.
c. Dalam hal tidak ada tindak lanjut dari kedua lembaga dimaksud atas pelaporan yang telah dilakukan, maka masyarakat dapat menyampaikan dugaan penyelewengan dana desa kepada Pemerintah Kabupaten, dalam hal ini Bupati cq. Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang membidangi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan desa, serta Inspektorat Daerah Kabupaten, atau jika memang masyarakat mempunyai bukti yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan di muka hukum atas dugaan penyelewengan dana desa (korupsi) dimaksud, maka masyarakat berhak melaporkan oknum tersebut kepada pihak aparat penegak hukum atas proses tindak lanjut.
d. Pemerintah menaruh perhatian penuh terhadap praktik-praktik tindakan korupsi maupun pungli, karena hal itu berdampak pada kerusakan nilai-nilai sosial dan kepercayaan publik pada pemerintah. Oleh karenanya, agar setiap tindakan atau indikasi korupsi dapat ditangani dengan optimal, masyarakat dapat membantu dengan memberikan informasi serta dukungan bukti-bukti yang memadai terjadinya tindakan korupsi dimaksud.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa;
2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagaimana yang diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Referensi:
1. https://nasional.tempo.co/read/news/2017/05/18/078876462/jokowi-salah-kelola-dana-desa-bisa-jadi-tersangka-korupsi, diakses pada 17 Juli 2017 pukul 16.30 WIB.
2. http://sapa.kemendagri.go.id/aspirasi/20160001089, diakses pada 17 Juli 2017 pukul 16.35 WIB.
[1] Pasal 1 angka 10 jo. Pasal 71 ayat (1) UU Desa
[2] Pasal 71 ayat (2) UU Desa
[3] Pasal 72 ayat (1) UU Desa
[4] Pasal 96 ayat (1) PP 47/2015
[5] Pasal 72 ayat (4) UU Desa jo. Pasal 96 ayat (2) PP 47/2015
[6] Pasal 72 ayat (5) UU Desa
[7] Pasal 72 ayat (6) UU Desa
[8] Pasal 96 ayat (3) PP 47/2015
[9] Pasal 96 ayat (4) PP 47/2015
[10] Pasal 48 UU Desa
[11] Pasal 49 ayat (1) UU Desa
[12] Pasal 49 ayat (3) UU Desa
[13] Pasal 51 UU Desa
[14] Pasal 52 ayat (1) UU Desa
[15] Pasal 52 ayat (2) UU Desa
Sumber:
m.hukumonline.com
Terimakasih. Semoga barokah.
Penulis adalah:
Direktur PusBimtek Palira
Ketua Umum DPP LKDN