Demokrasi Dalam Sistem Politik Di Desa
Demokrasi sebagai sistem politik di desa merupakan suatu sistem yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar musyawarah oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan yang berkala yang didasarkan atas prinsip kebersamaan dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.
Setidaknya 5 (lima) kondisi yang diperlukan bagi kelancaran demokratisasi di desa :
1. Penguatan struktur ekonomi yang berbasis kerakyatan dan keadilan.
2. Tersedianya kebutuhan-kebutuhan dasar bagi kepentingan rakyat desa seperti pangan, kesehatan dan pendidikan.
3. Kemapanan kegotong-royongan dan identitas desa sehingga tahan terhadap pembelahan dan perbedaan sosial politik rakyat desa.
4. Pengetahuan yang luas, pendidikan, kedewasaan, sikap toleransi, rasa tanggung jawab kolektif.
5. Rezim yang terbuka dan bertanggung jawab dan menggunakan sumber-sumber publik yang efisien.
Demokrasi desa di Indonesia dapat distratifikasikan sebagai berikut:
1. Demokrasi Desa yang bercirikan antara lain yaitu: musyawarah, mufakat, gotong royong, hak mengadakan protes bersama dan hak menyingkir dari kekuasaan absolut.
2. Demokrasi Pancasila. Pancasila sebagai ideologi nasional yaitu seperangkat nilai yang dianggap baik, sesuai dan adil dan menguntungkan bangsa.
3. Nilai-nilai demokrasi yang terjabar dari nilai-nilai Pancasila, yaitu: Kedaulatan rakyat, Republik, Negara berdasar atas hukum, pemerintahan yang konstitusional, sistem
perwakilan, prinsip musyawarah, dan prinsip ketuhanan.
Model demokrasi di desa berdasarkan penerapabnya ada 3 macam, yaitu:
1. Demokrasi formal ditandai dengan adanya kesempatan untuk memilih pemerintahanya (Kades dan BPD) dengan interval yang teratur berdasarkan peraturan yang berlaku.
2. Demokrasi permukaan (facade) yang tampak luarnya memang demokrasi, tetapi sama sekali tidak memiliki subtansi demokrasi. Pemilihan Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa yang hanya supaya dilihat oleh orang-orang hasilnya adalah demokrasi dengan intensitas yang dalam banyak hal tidak jauh dari sekadar polesan pernis demokrasi yang melapisi struktur politik di desa.
3. Demokrasi substantif memberi tempat kepada rakyat jelata, kaum miskin, perempuan, kaum muda, dan golongan minoritas untuk dapat benar-benar
menempatkan kepentingan dalam agenda politik politik di desa. Dengan kata lain, demokrasi substantif menjalankan dengan sungguh-sungguh agenda kerakyatan, bukan sekedar agenda demokrasi atau agenda politik elit desa semata.
Kondisi desa-desa di Indonesia sekarang ini dalam menerapkan demokrasi, modelnya secara umum lebih pas dapat dikategorikan demokrasi formal dan demokrasi permukaan semata.
Hal ini terjadi disebabkan oleh:
1. Kepemimpinan di desa yang masih menerapkan kekuasaan absolut.
2. BPD yang belum representatif sebagai wakil rakyat.
3. Konspirasi para elit desa yang membungkam suara rakyat dengan cara menutup akses informasi publik desa.
4. Penyelenggaraan Pemerintahan yang tidak partisipatif dan tidak berbasis kerakyatan.
5. Pendidikan demokrasi atau sosialisasi dinamika regulasi desa tidak inten atau bahkan tidak pernah dilakukan oleh penyelenggaran pemerintahan desa kepada rakyatnya.
6. Sikap mental penyelenggara pemerintahan desa dan rakyat yang pragmatis terhadap proses demokrasi.
7. Sikap apatis rakyat terhadap penyelenggaraan pemerintahan.
8. Sikap para pembina desa yang mengorbankan kepentingan rakyat demi kondusifitas semata.
9. Sikap Aparat Penegak Hukum yang mengedepankan stabilitas daripada mengamankan hak-hak rakyat.
Akibat dari kondisi tersebut antara lain:
1. Tindak pidana korupsi makin menggurita di desa.
2. Sikap adhigang, adhigung, dan adhiguna makin membudaya.
3. Kaderisasi dalam rangkah menyiapkan masa desa menjadi hal yang menakutkan bagi para elit desa.
4. Keengganan penyelenggara pemerintahan desa untuk mengajari, melatih, membina, mendidik, dan mencerdaskan rakyatnya dalam berdesa yang baik dan benar.
5. Bila ada rakyat yang ingin mengakses informasi publik desa, justru diopinikan negatif di mata rakyat dan diisolasi.
Mestinya harus dipahami:
1. Bahwa dengan keterbukaan informasi atas dokumen publik desa itu akan mendorong berkembangnya partisipasi rakyat terhadap pembangunan desa.
2. Bahwa dengan keterbukaan tata kelola keuangan desa itu akan mencegah perilaku korup para penyelenggara pemerintahan desa.
2. Bahwa mencerdaskan rakyat dalam hal tata kelola penyelenggaraan desa itu akan mendorong rakyat terutama para generasi untuk berperan dalam konltasi apa saja yang ada di desa.
Atas dasar generalisasi dan konsep yang sebagaimana uraian di atas inilah saya sampaikan sari tulis berikut yang saya unggah sebelumnya.
PILKADES DEMOKRASI ?
Adanya calon kades suami isteri, itu menunjukkan demokrasi di desa tersebut abal-abal.
Adanya calon kades suami isteri, itu menunjukkan demokrasi di desa tersebut camping dan bopeng.
Adanya calon kades “boneka”, itu menunjukkan Pemerintah Desa tersebut gagal urus pendidikan demokrasi.
Bila di daerah anda byk calon kades suami dan isteri atau kerabatnya, itu bukti kegagalan pembina desa dalam pendidikan demokrasi.
Pendidikan demokrasi dlm rangka wujudkan kedaulatan rakyat tdk diurus, justru politik uang dan pragmatisme yg dibudayakan.
Para satria itu lebih terhormat bila berhadapan dengan satria pula. Tidak dengan “boneka”. Meski dia gugur di medan laga.
Seorang kesatria terhormat, lebih suka pilih mengalahkan lawan dalam arena daripada menjegalnya di luar arena.
Seorang pecundang, untuk bisa menang, biasa pilih lempar batu sembunyi tangan, daripada menghadapi lawan secara kesatria.
Sekarang bagaimana dengan desa anda ?
Terimakasih. Semoga barokah. Aamiin.
Penulis adalah:
Direktur PusBimtek Palira.
Ketua Umum DPP LKDN