Diskresi Penyelenggaraan Pemerintahan

Diskresi Penyelenggaraan Pemerintahan

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dalam Pasal 1 Angka 9 diuraikan diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.

Kehadiran UU yang terdiri atas 89 pasal ini dimaksudkan untuk menciptakan tertib penyelenggaraan administrasi pemerintahan, menciptakan kepastian hukum, mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang, menjamin akuntabilitas badan dan/atau pejabat pemerintahan, memberikan perlindungan hukum kepada warga masyarakat dan aparatur pemerintahan, melaksanakan ketentuan peraturan peraturan perundang-undangan dan menerapkan azas-azas umum pemerintahan yang baik (AUPB), dan memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada warga masyarakat.

Menggunakan diskresi sesuai dengan tujuannya merupakan salah satu hak yang dimiliki oleh pejabat pemerintahan dalam mengambil keputusan dan/atau tindakan. Demikian yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2) huruf e jo ayat (1) UU 30/2014.

Definisi pejabat pemerintahan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 3 UU 30/2014: Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan adalah unsur yang melaksanakan Fungsi Pemerintahan, baik di lingkungan pemerintah maupun penyelenggara negara lainnya.

Pejabat yang diberikan diskresi yang disebut dalam UU 30/2014 (saat itu masih berupa rancangan) adalah mulai dari Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati, Walikota hingga Kepala Desa.

Hal-hal penting menyangkut diskresi yang diatur dalam UU 30/2014 antara lain:

1. Diskresi hanya dapat dilakukan oleh pejabat pemerintahan yang berwenang [Pasal 22 ayat (1)]

2. Setiap penggunaan diskresi pejabat pemerintahan bertujuan untuk Pasal 22 ayat (2) dan penjelasan]:

a. melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;
b. mengisi kekosongan hukum;
c. memberikan kepastian hukum; dan
d. mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Adapun yang dimaksud dengan stagnasi pemerintahan adalah tidak dapat dilaksanakannya aktivitas pemerintahan sebagai akibat kebuntuan atau disfungsi dalam penyelenggaraan pemerintahan, contohnya: keadaan bencana alam atau gejolak politik.

3. Diskresi pejabat pemerintahan meliputi [Pasal 23]:

a. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang memberikan suatu pilihan Keputusan dan/atau Tindakan;
b. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak mengatur;
c. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas; dan
d. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas.

4. Pejabat Pemerintahan yang menggunakan Diskresi harus memenuhi syarat [Pasal 24]:

a. sesuai dengan tujuan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2);
b. tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. sesuai dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB);
d. berdasarkan alasan-alasan yang objektif;
e. tidak menimbulkan Konflik Kepentingan; dan
f. dilakukan dengan iktikad baik.

5. Penggunaan diskresi yang berpotensi mengubah alokasi anggaran wajib memperoleh persetujuan dari atasan pejabat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Persetujuan dimaksud dilakukan apabila penggunaan diskresi menimbulkan akibat hukum yang berpotensi membebani keuangan negara [Pasal 25 ayat (1) dan (2)]

Sebagaimana penjelasan di atas, pejabat pemerintahan yang melakukan diskresi di sini adalah unsur yang melaksanakan fungsi pemerintahan, baik di lingkungan pemerintah maupun penyelenggara negara lainnya.

Contoh sederhana dari diskresi adalah Dana Desa yang mestinya tidak boleh dianggarkan untuk BLT, menjadi atau dibuat boleh untuk mengatasi dampak covid-19, baik besarannya maupun sasaran penerimanya. Yang penting berdasarkan Musdes dan dituangkan dalam berita acara musdesnya.

Meskipun dari Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sudah mengeluarkan peraturan terkait BLT Dana Desa, tetapi ketika Pemerintah Desa karena kedaruratan ini menghadapi kondisi yang berbeda, maka Pemerintah Desa bisa mengambil keputusan yang beda dengan peraturan di atasnya berdasarkan Musdes.

Misalnya tentang BLT Dana Desa, dari hasil Musdes dengan pertimbangan kondisi ekonomi masyarakat yang sangat rendah dan merata, maka dalam Musdes diputuskan al:
1. Besaran BLT DD = 700 rb/bln.
2. Sasaran BLT DD = siapapun rumah tangga yang kondisi nyata sekarang ekonominya masuk kategori miskin, dengan mengabaikan pekerjaan, status, dan jabatannya di desa.

Dengan demikian, adanya banyak pertanyaan, tentang penerima BLT DD, apakah si A boleh, si B boleh, dst. Itu bisa diatasi dengan Musdes yang diselenggarakan oleh BPD. Yang penting adil, terbuka, dan partisipatif.

Dasar hukum:
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Undang Undang Nomor 28 Tahun 1999
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Undang Undang Nomor 30 Tahun 2014

Terimakasih. Semoga barokah. Aamiin.

Bagikan manfaat >>

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ada yang bisa kami bantu? .
Image Icon
Profile Image
Bimtek Palira Perlu bantuan ? Online
Bimtek Palira Mohon informasi tentang bimtek :