Perkumpulan Masyarakat Bisa Menyelenggarakan Dialog Publik Calon Kepala Desa
Pemilihan Kepala Desa Pengganti Antar Waktu itu merupakan kemutlakan harus dilaksanakan, kenapa demikian? Sebelum ditemukan jawabannya, mari dibaca dulu aturannya.
Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 65 Tahun 2017, pada pasal 47A diuraikan sebagai berikut:
Pasal 47A
(1) Kepala Desa yang berhenti dan/atau diberhentikan dengan sisa masa jabatan lebih dari satu tahun, bupati/wali kota mengangkat PNS dari pemerintah daerah kabupaten/kota sebagai penjabat kepala Desa sampai dengan ditetapkan kepala Desa antar waktu hasil musyawarah Desa.
(2) Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling lama 6 (enam) bulan sejak kepala Desa diberhentikan.
(3) Masa jabatan kepala Desa yang ditetapkan melalui musyawarah Desa terhitung sejak tanggal pelantikan sampai dengan habis sisa masa jabatan kepala Desa yang diberhentikan.
Dalam pasal 47A di atas terdapat frase-frase penting yang merupakan substansi yuridisnya, yaitu:
Ayat(1):
1. berhenti dan/atau diberhentikan.
2. sisa masa jabatan lebih dari satu tahun.
3. mengangkat PNS dari pemerintah daerah kabupaten/kota.
4. sebagai penjabat kepala Desa
5. sampai dengan ditetapkan kepala Desa antar waktu
6. hasil musyawarah Desa.
Ayat (2):
1. dilaksanakan paling lama 6 (enam) bulan
2. sejak kepala Desa diberhentikan.
Ayat (3):
1. masa jabatan kepala Desa
2. terhitung sejak tanggal pelantikan
3. sampai dengan habis sisa masa jabatan kepala Desa yang diberhentikan.
Frase-frase tersebut manakala disusun dalam satu paragraf, maka akan berbunyi sebagai berikut:
Apabila terdapat Kepala Desa yang berhenti dan/atau diberhentikan dengan sisa masa jabatan lebih dari satu tahun, maka bupati/wali kota mengangkat PNS dari pemerintah daerah kabupaten/kota sebagai penjabat kepala Desa sampai dengan ditetapkan kepala Desa antar waktu hasil musyawarah Desa yang dilaksanakan paling lama 6 (enam) bulan sejak kepala Desa diberhentikan. Adapun masa jabatan kepala Desa yang ditetapkan melalui musyawarah Desa tersebut terhitung sejak tanggal pelantikan sampai dengan habis sisa masa jabatan kepala Desa yang diberhentikan.
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa adanya Pemilihan Kepala Desa Pengganti Antar Waktu itu merupakan sebuah kemutlakan bila terjadi peristiwa sebagaimana yang diatur pada pasal 47A tersebut.
Lalu bagaimana bila hal tersebut diabaikan atau tidak dilaksanakan? Dari dimensi yuridis dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Enam bulan setelah terjadi kekosongan, maka desa tersebut dalam status kosong kepemimpinan atau tidak punya kepala desa meski ada Penjabat Kepala Desanya.
2. Enam bulan setelah terjadi kekosongan, stempel, tanda tangan dan/atau tindakan Penjabat Kepala Desa tidak sah dihadapan hukum atau cacat hukum.
Karena status hukum desa yang demikian, maka kerugian masyarakat antara lain:
A. Jangka pendek, contohnya:
1. Dokumen yang ditanda tangani dan stempel PJ Kades yang cacat hukum adalah tidak sah.
Misalnya, seorang penduduk ngurus surat ke kantor desa untuk keperluan pendaftaran TNI, begitu dia diterima jadi TNI lalu ada yang melaporkan atau menggugat atas dokumen pendaftarannya, dia pasti bisa gugur.
2. Dokumen kegiatan anggaran, APBDes, dan RKPDes menjadi tidak sah, karena ditanda tangani oleh PJ Kades yang cacat hukum. Bila ada warga yang menggugat pasal Tipikor, maka bisa kena kesra tersebut.
3. Dll.
B. Jangka panjang, contohnya:
1. Peristiwa membagi waris tanah atau jual beli. Di masa yang akan datang apabila ada ahli waris yang menggugat karena tahu kalau dokumennya pengurusan sertifikatnya dulu ditanda tangani oleh kades yang cacat hukum, maka pasti sertifikat tersebut akan dibatalkan.
2. Dll.
Dengan uraian di atas, makin jelas bahwa Pilkades PAW itu mutlak harus dilaksanakan bila terjadi peristiwa sebagaimana diatur pada pasal 47A Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 65 Tahun 2017.
PERMENDAGRI Nomor 65 Tahun 2017
Terimakasih. Semoga barokah. Aamiin.
Penulis adalah:
Direktur PusBimtek Palira.
Ketua Umum DPP LKDN.