KETIDAKHADIRAN POLWAN DAN DISKRESI DALAM PENANGKAPAN TERSANGKA RIHANA RIHANI
Oleh : Mubassirin*
Penerapan diskresi Kepolisian dalam penangkapan si kembar Rihana Rihani menurut Direskrimum Polda Metro Jaya didasari asas keperluan dan asas tujuan, artinya diskresi itu sangat perlu dilakukan. “Apabila diskresi ini tidak dilakukan, maka tujuan akan tidak tercapai. Yang bersangkutan mungkin tidak tertangkap”. Demikian pernyataan Direskrimum Polda Metro Jaya dalam konferensi pers atas penangkapan si kembar penipu Rihana Rihani atas dugaan penipuan pre order iPhone dan penggelapan mobil yang melibatkan banyak korban dan kerugian hingga miliaran rupiah. Statemen tersebut disampaikan Kombes Pol. Hengky Haryadi menjawab pertanyaan kenapa tidak bawa Polwan (Polisi Wanita) dalam penangkapan si kembar Rihana Rihani pada Selasa 4 Juli 2023 di salah satu apartemen di wilayah Gading Serpong Tangerang Selatan (CNN Indonesia, 05/7/2023).
Pemberitaan penangkapan si kembar Rihana Rihani dan pernyataan Direskrimum Polda Metro Jaya dalam konferensi pers tersebut menunjukkan fakta bahwa penggunaan diskresi dalam penyelenggaraan pemerintahan termasuk dalam pelaksanaan tugas-tugas Kepolisian pada situasi tertentu merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari sebagai solusi penyelesaian alternative yang timbul sebagai akibat dari kekosongan hukum, kekaburan/ketidakjelasan suatu norma hukum dan mengatasi stagnasi pemerintahan atau mengatasi masalah penting dan mendesak yang datang secara tiba-tiba untuk segera diatasi. Dalam diskresi/freies ermessen alat pemerintahan dihadapkan pada situasi sulit dan pilihan untuk melakukan atau tidak melakukan keputusan dengan bermacam resiko yang menyertai keputusannya. Pasca berlakunya UU No. 14 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, wewenang freies ermessen/diskresi pejabat pemerintahan telah diatur dalam ketentuan pasal 22 sampai 32 yang meliputi ruang lingkup, persyaratan, prosedur dan akibat hukum diskresi.
Dalam teori Hukum Administrasi Negara mengenai diskresi, Prof. Dr. Marbun, SH.M.Hum mengartikan diskresi sebagai wewenang yang diberikan kepada pemerintah untuk mengambil tindakan guna menyelesaikan suatu masalah penting yang mendesak yang datang secara tiba tiba dimana belum ada peraturannya, sedangkan Indroharto, S.H. mengartikan kewenangan diskresioner atau kebebasan untuk melakukan penilaian dalam hukum oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara adalah suatu situasi dimana pengambilan keputusan pemerintah tidak diatur oleh suatu peraturan hukum. Artinya instansi pemerintah yang bersangkutan itu dengan melihat pada suatu situasi faktual yang ada dalam masyarakat, memiliki kebebasan untuk menentukan sendiri keputusan apa, kapan dan bagaimana yang akan dikeluarkan.
Diskresi merupakan wewenang yang unik karena wewenang itu akan digunakan atau tidak digunakan, sepenuhnya diserahkan kepada pejabat pemerintahan sebagaimana dikatakan DR. H. Ach. Rubaie, S.H.,M.H. dalam buku Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi Perspektif Filosofis, Teoritis dan Yuridis disebutkan bahwa wewenang bebas kebijaksanaan merupakan wewenang memutus secara mandiri untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan tertentu yang menjadi wewenangnya. Normanya memberikan wewenang secara jelas bagi organ pemerintahan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu, namun wewenang tersebut digunakan atau tidak digunakan tergantung pada pengemban kewenangan. Apakah wewenang tersebut digunakan atau tidak digunakan oleh pemegang wewenang, hal itu sama sekali bukan merupakan masalah bagi hukum, sebab secara normatif tidak diwajibkan dan juga tidak dilarang bagi pemegang kewenangan untuk menggunakan atau tidak menggunakan wewenang tersebut.
Pada situasi mendesak tertentu yang datang secara tiba-tiba dan menuntut penyelesaian secara cepat pula tidak jarang alat pemerintahan di hadapkan pada dua pilihan dilematis karena harus memilih apakah akan melakukan keputusan diskresi meskipun berpotensi melanggar hukum, atau membiarkan keadaan. Ia bebas memilih dan menimbang antara mengutamakan aspek kepastian hukum (rechtmatigheid) dengan tidak melakukan keputusan yang berpotensi menabrak peraturan perundangan atau memilih mengutamakan aspek tujuan hukum (doelmatigheid) dengan melakukan keputusan meski berpotensi melanggar hukum.
Meskipun freies ermessen/diskresi merupakan wewenang bebas yang dimiliki alat pemerintahan untuk berbuat atau tidak berbuat namun diskresi bukanlah wewenang bebas yang dapat dipergunakan secara bebas tanpa batas. Agar keputusan diskresi sah menurut hukum ia harus memenuhi syarat, ketentuan, batasan dan kriteria sebagai keputusan diskresi yang sah. Beberapa keadaan yang harus dipenuhi agar diskresi tersebut sah antara lain sebagai berikut :
1. Adanya kondisi darurat yang nyata sangat akut dan datang secara tiba-tiba;
2. Ketiadaan pilihan lain kecuali melakukan suatu tindakan yang berpotensi melanggar hukum;
3. Kerugian yang ditimbulkan akibat dilakukannya tindakan tersebut sangat kecil dibandingkan dengan maksud dilakukannya tindakan tersebut;
4. Tindakan tersebut hanya untuk hal yang bersifat kepentingan umum yang harus segera dilindungi, dan pihak yang dirugikan juga dalam jumlah yang sedikit;
5. Adanya kompensasi terhadap akibat terjadinya pelanggaran hukum tersebut.
Kriteria diatas bersifat kumulatif, artinya merupakan syarat yang menyatu dan harus dipenuhi semuanya untuk dapat dilakukan tindakan diskresi yang melanggar hukum. (Dissenting opinion Putusan No. 30/G/2008/PTUN.Smg)
Lantas apa korelasi kehadiran Polwan dengan diskresi Polda Metro Jaya dalam penangkapan tersangka kembar Rihana Rihani diapartemen M Town Gading Residence ?
Pertanyaan mengenai ketidakhadiran anggota Polisi Wanita (Polwan) dalam kegiatan penangkapan tersangka Rihana Rihani di apartemen M Town Gading Residence rupanya menjadi pemantik Direskrimum Polda Metro Jaya memberikan pernyataan sebagaimana awal tulisan ini karena tindakan penangkapan tersangka terikat pada ketentuan mengenai syarat dan ketentuan normatif yang ditentukan dalam Kitab Undang –undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan peraturan perundangan lain yang mengaturnya (misalnya Undang-undang Kepolisian Negara, Peraturan Kapolri, dsb).
Penangkapan menurut KUHAP adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Penangkapan hanya dapat dilakukan terhadap seseorang yang di duga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup sedangkan yang dimaksud dua alat bukti yang sah sesuai pasal 184 KUHAP yakni : a. Keterangan saksi, b. Keterangan ahli, c. Surat, d. Petunjuk, e. Keterangan terdakwa.
Terkait tindakan penangkapan terhadap tersangka perempuan Kepolisian Republik Indonesia telah menerbitkap Peraturan Kapolri (PERKAP) Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Dan Standar Hak Azasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Salah satu maksud dan tujuan pengundangan Perkap tersebut adalah agar seluruh jajaran Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menghormati, melindungi dan menegakkan hak azasi manusia dalam menjalankan tugas dan fungsi Kepolisian. Dalam tindakan penangkapan terhadap perempuan ketentuan pasal 20 Perkap No. 8 Tahun 2009 antara lain mengatur bahwa dalam hal yang ditangkap seorang perempuan maka wajib diperhatikan perlakuan khusus antara lain :
a. Sedapat mungkin diperiksa oleh petugas perempuan atau petugas yang berspektif gender;
b. Diperiksa diruang pelayanan khusus;
c. Perlindungan hak privasi untuk tidak dipublikasikan;
d. Hal mendapat perlakuan khusus;
e. Dipisahkan penempatannya dari ruang tersangka laki-laki;
f. Penerapan prosedur khusus untuk perlindungan bagi perempuan;
Sekilas memang tidak ada korelasi antara ketidakhadiran Polwan dengan tindakan penangkapan si kembar Rihana Rihani namun karena dalam konferensi persnya Direskrimum Polda Metro Jaya menyatakan kegiatan penangkapan di apartemen (tanpa kehadiran Polwan) sebagai diskresi kepolisian yang sangat diperlukan, ini menarik untuk di diskusikan dengan menyandingkan pengetahuan tentang freies ermessen/diskresi dengan ketentuan tentang penangkapan terhadap tersangka perempuan.
Menurut anda apakah tindakan penangkapan si kembar Rihana Rihani merupakan sebuah keputusan/tindakan diskresi..?
Terima kasih, semoga bermanfaat..
*Penulis adalah Tutor Pusbimtek PALIRA.