Menguji Legalitas Keputusan Kepala Desa Di Pengadilan

MENGUJI LEGALITAS KEPUTUSAN KEPALA DESA DI PENGADILAN
Oleh : Mubassirin, S.H.*

I. Pengantar

Sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan di Desa dalam menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan seorang Kepala desa oleh Peraturan perundang undangan telah dibekali dengan berbagai macam kewenangan yang perinciannnya dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa diuraikan dalam pasal 26 ayat (2). Selain kewenangan yang ada dalam Undang-undang tentang Desa, kewenangan Kepala Desa juga dapat dijumpai dalam berbagai macam bentuk peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang antara lain dimuat dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah bahkan dalam Peraturan Desa yang mengatur tentang Kewenangan Desa. Konsekwensi dari adanya wewenang tersebut hal ini memberi kewenangan bagi seorang Kepala Desa tersebut untuk membuat/menetapkan suatu Keputusan (besickkhing) dalam rangka kelancaran tugas-tugas Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Pembangunan Desa, Pembinaan kemasyarakatan dan Pemberdayaan masyarakat di Desa.

Penggunaan kewenangan Kepala Desa sebagai Pejabat Tata Usaha Negara di tingkat desa untuk menetapkan sebuah keputusan konkrit, dalam masyarakat seringkali menimbulkan benturan kepentingan (Conflict of interest) antara Badan/Pejabat pemerintahan dengan pihak yang di tuju oleh Keputusan, maupun dengan masyarakat (pihak ketiga) yang merasa kepentingannya di rugikan akibat dikeluarkannya keputusan. Benturan kepentingan yang kadang memunculkan sengketa tata usaha Negara ini umumnya menyangkut pengujian keabsahan keputusan yang bersifat perseorangan (persoonlijk) maupun keputusan yang bersifat konstitutif (misalnya Keputusan tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa).

Adakalanya konflik ini dapat diselesaikan secara kekeluargaan melalui forum musyawarah namun tidak jarang pula yang menjadi kasus hukum sengketa tata usaha Negara di Pengadilan. Situasi seperti ini bagi masyarakat awam sering menimbulkan menimbulkan kebingungan dan pertanyaan mengenai persyaratan apa yang harus di penuhi ketika ia akan melakukan gugatan untuk mempertahankan hak dan kepentingannya di Pengadilan dan bagaimana prosedur pengujian legalitas sebuah keputusan (besickhing) di Pengadilan bagi pihak yang merasa di kepentingannya di rugikan oleh Keputusan di Pengadilan Tata Usaha Negara. Sebelum penulis membahas lebih lanjut mengenai dua permasalahan pokok diatas ada baiknya apabila penulis memberi gambaran tentang pengertian Sengketa Tata Usaha Negara dan Keputusan Tata Usaha Negara.

II. Keputusan Tata Usaha Negara dan Sengketa Tata Usaha Negara

Pembuat Undang-undang menjelaskan tentang pengertian Keputusan Tata Usaha Negara dalam ketentuan pasal 1 ayat (3) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara bahwa yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang di keluarkan oleh badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan Perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata, sedangkan pengertian sengketa Tata Usaha Negara menurut pasal 1 ayat (4) adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara baik di Pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dari pengertian tersebut dapat di ketahui bahwa ternyata Keputusan Kepala Desa yang memenuhi syarat sebagai Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) setidaknya harus memenuhi 6 elemen pasal 1 ayat (3) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 yakni :
1. Penetapan/Keputusan tersebut tertulis;
2. Dikeluarkan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara;
3. Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara;
4. Dikeluarkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
5. Bersifat konkrit (berwujud, tidak abstrak), individual (bukan umum) dan final (tidak memerlukan persetujuan lebih lanjut);
6. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Dalam sengketa Tata Usaha Negara pihak-pihak yang terlibat dalam sengekta Tata Usaha Negara di Pengadilan disebut dengan Penggugat, yakni orang/badan hukum yang merasa kepentingannya di rugikan oleh suatu keputusan Tata Usaha Negara dan pihak Tergugat ialah Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan obyek sengketa yang di gugat. Selain Pihak Penggugat dan Tergugat tersebut, undang-undang juga memberi ruang kepada pihak ketiga yang berpotensi kepentingannya akan dirugikan oleh Putusan sengketa Tata Usaha yang sedang berlangsung untuk masuk sebagai Pihak Tergugat Intervensi dengan mengajukan permohonan intervensi kepada Hakim dalam sidang pemeriksaan gugatan dan atas permohonan intervensi tersebut Pengadilan akan mempertimbangkan dan mengeluarkan penetapan mengabulkan atau menolak permohonan intervensi dari pihak ketiga berkepentingan.

Pada saat pendaftaran gugatan di kepaniteraan penggugat akan diminta untuk menyerahkan berkas kelengkapan gugatan antara lain :
a. Surat gugatan paling sedikit 6 (enam) eksemplaar
b. Soft copy gugatan dalam compact disk (CD)
c. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Penggugat prinsipaal
d. Fotokopi surat keputusan obyek gugatan (bila ada)
e. Surat kuasa khusus (apabila Penggugat diwakili oleh kuasa hukum) dengan dilampiri Kartu advokat, KTP dan Berita acara sumpah advokat

Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP) yang mengatur tentang Upaya Administrasi, petugas kepaniteraan juga akan meminta Penggugat untuk melampirkan bukti bahwa Penggugat telah menempuh upaya administrasi keberatan dan banding administrasi sebelum mendaftarkan gugatannya di Pengadilan karena dengan berlakunya UUAP Pengadilan baru berwenang memeriksa memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara jika seluruh upaya administratif telah di gunakan. Mengenai apa itu prosedur administrasi, upaya administratif, keberatan dan banding administrasi penulis akan akan uraikan dalam judul tulisan tersendiri.

Bimtek Tutor Tata Kelola Desa Angkatan Ke-4

III. Sahnya Keputusan dan Dasar Pengujian Keputusan di Pengadilan

Pada pasal 53 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1986 yang di ubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 alasan yang dapat di gunakan untuk mengajukan gugatan pembatalan Keputusan di PTUN yakni :
a. Keputusan yang di gugata itu bertentangan dengan peraturan Perundang-undangan yang berlaku;
b. Keputusan Tata usaha Negara yan di gugat itu bertentangan dengan Azas-azas Umum Pemerintahan Yang baik.
Ketentuan pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tersebut makin diperjelas dalam ketentuan pasal 52 ayat (1) dan ayat (2) UUAP yang mengatur tentang syarat sahnya Keputusan sebagai berikut:
(1) Syarat sahnya Keputusan meliputi :
a. ditetapkan oleh Pejabat yang berwenang;
b. dibuat sesuai prosedur ; dan
c. substansi yang sesuai dengan obyek Keputusan;
(2) Sahnya Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada ketentuan peraturan Perundang-undangan dan AUPB;

Pasal 55 Undang-undang Administrasi Pemerintahan (UUAP) mengharuskan kepada pejabat pemerintahan yang membuat Keputusan untuk mencantumkan pertimbangan yuridis, sosiologis dan pertimbangan filosofi yang menjadi dasar penetapan Keputusan kecuali jika Keputusan tersebut di ikuti dengan penjelasan terperinci maka dapat tidak di diberi alasan/pertimbangan yuridis, sosiologis dan filosofis. Pelanggaran persyaratan tekhnis penyusunan Keputusan (besickhing) yang telah ditentukan oleh suatu peraturan Perundang-undangan akan menimbulkan konsekwensi hukum yang akan di tanggung oleh Badan/pejabat pemerintahan yakni Keputusan itu akan menjadi tidak sah menurut hukum atau batal/dibatalkan. Apabila ini terjadi maka akan menimbulkan kerugian kerugian dalam masyarakat dan hambatan dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Untuk menentukan apakah keputusan yang sedang di periksa di Pengadilan bertentangan dengan peraturan Perundang-undangan atau tidak, maka dalam pengujian legalitas (rechmatigheid) suatu keputusan dilakukan meliputi 3 (tiga aspek) penilaian yakni aspek kewenangan, aspek Prosedural/formal dan aspek substansial/material. Dari segi kewenangan, Pengadilan akan menilai apakah keputusan obyek sengketa tersebut di keluarkan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha yang memiliki kewenangan untuk menetapkan keputusan atau tidak, misalnya dalam suatu Peraturan Daerah Kabupaten/Kota diatur bahwa Pengangkatan dan pemberhentian Perangkat Desa di tetapkan dengan Keputusan Kepala Desa namun yang terjadi Keputusan dikeluarkan atau di tandatangani oleh Sekretaris Desa/Penjabat Kepala Desa atau bahkan Keputusan di tanda tangani oleh Camat maka dalam konteks ini telah terjadi kesalahan dalam penerbitan Keputusan dari aspek kewenangan karena keputusan di keluarkan oleh Pejabat yang tidak berwenang (onbevoegheid). Konsekwensi hukum dari kondisi tersebut maka Pengadilan akan menyatakan Keputusan yang digugat tidak berlaku atau di nyatakan batal/tidak sah oleh putusan hakim.

Pada penilaian aspek prosedural, Pengadilan akan melakukan audit terkait proses dan mekanisme penerbitan Keputusan obyek sengketa dengan berpedoman pada norma peraturan dasarnya yang mengatur tentang prosedur formal (vormgebreken) yakni pengujian mekanisme tahap demi tahap dalam penerbitan keputusan, misalnya dalam kasus Pengangkatan Perangkat Desa hakim akan menguji apakah mekanisme dan tahapan penjaringan dan penyaringan Perangkat Desa telah dilaksanakan sesuai Permen/Perda/Perbup yang mengaturnya atau tidak. Prosedur dan mekanisme tersebut akan di nilai dan di pertimbangkan dengan seksama oleh hakim untuk menentukan ada atau tidaknya kesalahan prosedural dalam penerbitan Keputusan. Jika hasil pemeriksaan proses ditemukan bukti adanya suatu tahapan atau prosedur yang dilanggar atau tidak dilaksanakan oleh Panitia maka Keputusan akan di batalkan oleh PTUN. Pengujian keputusan dari segi substansial/material dalam sengketa Tata Usaha Negara di tekankan pada penilaian kesesuaian antara maksud dan tujuan pembuatan keputusan dengan substansi yang sesuai dengan obyek Keputusan.

Azas-azas umum pemerintahan yang baik (AUPB) merupakan kaidah hukum tidak tertulis sebagai pencerminan norma-norma etis berpemerintahan yang wajib diperhatikan dan dipatuhi disamping mendasarkan pada kaidah hukum tertulis. Pengertian AUPB menurut Putusan PTUN Palembang Nomor 06/PTUN/G/PLG/1991 tanggal 6 Juli 1991 adalah azasa hukum kebiasaan yang secara umum dapat diterima menurut rasa keadilan kita yang tidak dirumuskan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan, tetapi yang di dapat dengan jalan analisa dari yurisprudensi maupun dari literature hukum yang harus diperhatikan pada setiap perbuatan hukum administrative yang dilakukan oleh penguasa (Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara). Pada awalnya AUPB merupakan kaidah (norma) hukum tidak tertulis namun dengan berlakunya UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dan Bersih dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme AUPB tersebut kemudian dimasukkan dalam bentuk norma/kaidah tertulis harus senantiasa di pedomani oleh Penyelenggara Negara dalam setiap pengambilan Keputusan/tindakan dalam penyelenggaraan Pemerintahan termasuk Kepala Desa selaku penyelenggara Negara. Dalam undang-undang PTUN azas ini dapat ditemukan pada penjelasan pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN. Dalam praktik peradilan AUPB di gunakan sebagai sebagai salah satu instrument pengujian (toetsing) disamping peraturan Perundang-undangan untuk menentukan sah/batalnya keputusan yang di gugat itu. Jika hasil pengujian menyimpulkan bahwa Keputusan melanggar AUPB maka akan keputusan akan dinyatakan batal/tidak sah.

IV. Catatan akhir Penulis

Pemberlakuan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi pemerintahan sebagai salah satu instrument Pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan pada kenyataannya tidak di imbangi dengan usaha peningkatan kapasitas bagi aparatur penyelenggara Pemerintahan khususnya aparatur Penyelenggara Pemerintah Desa. Masih banyak Pejabat Pemerintahan di Desa tidak memahami tata kelola pemerintahan yang baik, kemampuan tekhnis aparatur penyelenggara pemerintahan Desa untuk membuat produk peraturan dan keputusan masih rendah dan kurang mendapat perhatian dan pembinaan dari Pemerintah Daerah sehingga. Kondisi demikian seringkali menimbulkan kebingungan tersendiri ketika terjadi permasalahan atau kasus hukum yang menyangkut Keputusan Pemerintahan di Desa.

Orientasi kegiatan pembangunan desa dari tahun ke tahun selalu dialokasikan untuk pembangunan fisik dan jarang sekali menyentuh program peningkatan kapasitas. Seiring maraknya kasus-kasus hukum terkait penyelenggaraan Pemerintahan Desa maka sudah saatnya apabila para pemangku kekuasaan di Daerah dan di Desa mengubah paradigma tentang pembangunan Desa dengan memasukkan program kegiatan yang beriorientasi pada peningkatan kapasitas aparatur Pemerintahan Desa melalui program pelatihan atau bimbingan tekhnis (bimtek) baik diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah maupun bimtek mandiri kerjasama dengan lembaga bimtek professional (pihak ketiga). Pusbimtek PALIRA sebagai lembaga bimtek professional terbukti melahirkan aparatur penyelenggara Pemerintahan Desa yang terampil dan professional adalah solusi atas persoalan diatas. Semoga bermanfaat.**

*Penulis adalah Advokat/Tutor PALIRA
**Untuk kalangan sendiri sebagai pengembangan materi Pedoman Teknis Penyusunan Keputusan.

Terimakasih. Semoga barokah. Aamiin..

Penulis adalah:
Tutor PusBimtek Palira
Manajer PusBimtek Palira Daerah Kabupaten Pati Propinsi Jawa Tengah

Bagikan manfaat >>

2 komentar untuk “Menguji Legalitas Keputusan Kepala Desa Di Pengadilan”

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ada yang bisa kami bantu? .
Image Icon
Profile Image
Bimtek Palira Perlu bantuan ? Online
Bimtek Palira Mohon informasi tentang bimtek :