Ragam Bahasa Peraturan Di Desa
Memilih dan menyusun bahasa dalan diskripsi peraturan di desa adalah unsur verbal yang sangat penting, agar dalam peraturan tersebut diperoleh bahasan yang baku, artinya tidak menimbulkan interpretasi yang bermacam-macam. Ragam Bahasa yang dipakai dalam menyusun Peraturan di Desa secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut:
A. Bahasa Peraturan Di Desa
1. Bahasa Peraturan di Desa termasuk Bahasa Indonesia yang tunduk pada kaidah tata Bahasa Indonesia, yang menyangkut pembentukan kata, penyusunan kalimat maupun pengejaannya. Bahasa Peraturan di Desamempunyai corak dan gaya yang khas yang bercirikan kejernihan pengertian, kelugasan, kebakuan dan keserasian.
2. Dalam merumuskan materi Peraturan di Desa, pilihlah kalimat yang lugas dalam arti tegas, jelas dan mudah ditangkap pengertiannya, tidak berbelit-belit. Kalimat yang dirumuskan tidak menimbulkan salah tafsir atau menimbulkan pengertian yang berbeda bagi setiap pembaca. Hindari pemakaian istilah yang pengertiannya kabur dan kurang jelas. Istilah yang dipakai sebaiknya sesuai dengan pengertian yang biasa dipakai dalam bahasa sehari-hari.
3. Hindari pemakaian :
a) Beberapa istilah yang berbeda untuk pengertian yang sama.
b) Satu istilah untuk beberapa pengertian yang berbeda.
4. Untuk mendapatkan kepastian hukum, istilah dan arti dalam peraturan pelaksanaan harus disesuaikan dengan istilah dan arti yang dipakai dalam peraturan Peraturan di Desayang lebih tinggi derajatnya.
5. Apabila istilah tertentu dipakai berulang-ulang, maka untuk menyederhanakan susunan Peraturan di Desa dapat dibuat definisi yang ditempatkan dalam Bab Ketentuan Umum.
6. Jika istilah tertentu dipakai berulang-ulang maka untuk menyederhanakan susunan suku kata dapat menggunakan singkatan atau akronim.
7. Singkatan nama atau badan atau lembaga yang belum begitu dikenal umum dan bila tidak dimuat dalam Ketentuan Umum, maka setelah tulisan lengkapnya, singkatannya dibuat di antara tanda kurung.
8. Dianjurkan sedapat mungkin menggunakan istilah pembentukan Bahasa Indonesia. Pemakaian (adopsi) istilah asing yang banyak dipakai dan sudah disesuaikan ejaannya dengan kaidah Bahasa Indonesia dapat dipertimbangkan dan dibenarkan, jika istilah asing itu memenuhi syarat:
a) Mempunyai konotasi yang cocok;
b) Lebih singkat bila dibandingkan dengan padanannya dalam Bahasa Indonesia.
c) Lebih mudah tercapainya kesepakatan.
d) Lebih mudah dipahami dari pada terjemahan Bahasa Indonesia.
B. Pilihan Kata atau istilah
1. Pemakaian kata “Kecuali”
Untuk menyatakan makna tidak termasuk dalam golongan, digunakan kata “kecuali”. Kata “kecuali” ditempatkan di awal kalimat jika yang dikecualikan induk kalimat.
Contoh :
Kecuali A dan B, setiap warga Desa wajib melaksanakan Siskamling.
2. Pemakaian kata “Disamping”. Untuk menyatakan makna termasuk, dapat digunakan kata “disamping”.
Contoh :
Disamping membayar iuran juga keamanan, warga yang berstatus Pegawai Negeri Sipil dikenai kewajiban melaksanakan Siskamling.
3. Pemakaian kata “Jika” dan kata “Maka”.
Untuk menyatakan makna pengandaian atau kemungkinan, digunakan kata “jika” atau frase “dalam hal”. Gunakan kata “jika” bagi kemungkinan atau keadaan yang akan terjadi lebih dari sekali dan setelah anak kalimat diawali kata “maka”.
Contoh :
Jika terdapat warga Desa yang tidak melaksanakan Siskamling, maka ………..
4. Pemakaian kata “Apabila”.
Untuk menyatakan atau menunjukkan uraian atau penegasan waktu
terjadinya sesuatu, sebaiknya menggunakan kata “apabila” atau
“bila”.
Contoh :
Salah satu warga Desa dapat tidak melaksanakan tugas Siskamling, apabila sakit.
5. Pemakaian kata “dan”, “atau”, “dan atau”.
a) Untuk menyatakan sifat yang kumulatif, digunakan kata “dan”.
Contoh :
A dan B wajib memberikan …..
b) Untuk menyatakan sifat alternatif atau eksekutif digunakan kata “atau”
Contoh :
A atau B wajib memberikan …..
c) Untuk menyatakan sifat alternatif ataupun kumulatif, digunakan frase “dan atau”.
Contoh :
A dan atau B wajib memberikan ..
6. Untuk menyatakan istilah hak, digunakan kata “berhak”
Contoh :
Setiap warga Desa Bantul yang telah berumur 17 (tujuh belas) tahun berhak untuk mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP).
7. Untuk menyatakan kewenangan, digunakan kata “dapat” atau kata “boleh”.
Kata “dapat” merupakan kewenangan yang melekat pada seseorang, sedangkan kata “boleh” tidak melekat pada diri seseorang. Untuk
menyatakan istilah kewajiban, digunakan kata “wajib”.
Contoh :
a. Kepala Desa dapat memberikan dispensasi bagi warga yang sedang mengalami musibah.
b. Setiap warga Desa wajib membayar iuran keamanan.
8. Untuk menyatakan istilah sekedar kondisi atau persyaratan, digunakan kata “harus”.
Contoh :
Untuk menduduki suatu jabatan calon Bendahara, seorang Bendahara harus terlebih dahulu mengikuti kursus Bendaharawan.
9. Untuk menyangkal suatu kewajiban atau kondisi yang diwajibkan,
digunakan frase “tidak diwajibkan” atau “tidak wajib”.
Contoh :
Warga Desa yang belum berumur 17 tahun dan belum kawin, tidak
diwajibkan untuk mengikuti pemilihan Dukuh.
C. Teknik Pengacuan
1. Untuk mengacu pasal lain. Digunakan frase “sebagaimana dimaksud dalam”. Sedangkan untuk mengacu ayat lain, digunakan (rasa “sebagaimana dimaksud pada”.
Contoh :
…………sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ………………….
…………sebagaimana dimaksud pada ayat (1) …………………….
2. Jika mengacu ke peraturan lain, pengacuan dengan urutan pasal, ayat dan judul Peraturan Desa atau Peraturan Lurah Desa.
Contoh :
…………. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) Peraturan Desa Bantul Nomor 21 Tahun 2011 tentang Pungutan Desa.
3. Pengacuan dilakukan dengan mencantumkan secara singkat materi pokok yang diacu. Pengacuan hanya boleh dilakukan ke peraturan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi.
4. Pengacuan dilakukan dengan menyebutkan secara tegas nomor dari
pasal atau ayat yang diacu, dan hindarkan penggunaan frase “pasal
yang terdahulu” atau “pasal tersebut di atas” atau “Pasal ini”.
Contoh :
Panitia Pemilihan Lurah Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), bertugas ………
5. Jika ketentuan dari pengaturan yang diacu memang dapat diberlakukan seluruhnya, maka istilah “tetap berlaku” dapat digunakan.
D. Penandatanganan Naskah Peraturan di Desa.
1. Sekretaris Desa bertanggung jawab atas kebenaran tata naskah dan penulisan naskah Peraturan di Desa, sehingga harus membubuhkan paraf pada setiap lembar dokumen, serta pada sisi kiri nama Kepala Desa.
2. Kepala Desa menandatangani naskah Peraturan di Desa setelah diparaf oleh Sekretaris Desa.
Terimakasih. Semoga barokah.
Penulis adalah:
Direktur PusBimtek Palira
Ketua Umum DPP LKDN