Desa Purba

Desa Purba

Desa lahir setelah zaman nomaden, dimana populasi manusia mulai menyadari perlunya hidup berkomunitas dan menetap di suatu area yang kemudian kita kenal dengan sebutan pemukiman, kampung, dukuh, dusun, desa dan/atau sebutan lainnya.

Populasi manusia ini kemudian memenuhi kebutuhan pangan, papan, dan sandang. Melanjutkan keturunan, membangun sistem kehidupan bersama melalui konvensi-konvensi dan simbol-simbol yang dijadikan traktat-traktat dan sistem komunikasi sosial.

Dinamika berikutnya adalah kebutuhan koordinasi untuk menjaga konvensi, traktat, simbol, dan sistem sosial bersama, maka muncullah figur-figur lokal genius untuk bisa memimpin dalam menjaga, mengembangkan, dan melestarikan konvensi, traktat, simbol dan sistem sosial bersama tersebut. Masa ini mulailah dikenal pemimpin.

Pemimpin ini diberi tanggung jawab oleh komunitas (rakyat) menjaga, membangun, dan melestarikan sistem nilai (peraturan) meskipun baru dalam bahasa tutur dan simbol sebagai pedoman hidup dalam berkomunitas (berdesa atau sebutan lainnya).

Semua problematika dipecahkan bersama dengan mengedepankan nilai-nilai keyakinan ilahiah (Ketuhanan), kesamaan derajat (Kemanusiaan), kebersamaan (Persatuan), musyawarah (Kerakyatan), dan pemerataan (Keadilan Sosial).

Perjalanan berdesa ini berlangsung lama hingga memasuki zaman simbol ujaran, sedangkan sistemnya memasuki zaman kerajaan (pemerintahan) hingga terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ketika awal NKRI didirikan, supaya bisa tegak berjalan dan lazim disebut negara, maka yang harus disepakati awal adalah ideologi bernegara yang digali dari sistem nilai yang diyakini dan undang-undang dasar secara tertulis yang menjadi pedoman dasar ber-NKRI, di samping itu disepakati pula simbol-simbol kenegaraan serta disepakatinya para pemimpin negara.

Sejak NKRI berdiri inilah bangsa Indonesia dalam bernegara sampai dengan berdesa yang menjalankan pemerintahan dari pusat hingga desa dengan menganut sistem hukum formal, artinya segala sesuatu dalam mengatur kehidupan bernegara hingga berdesa menggunakan sistem hukum atau peraturan tertulis.

Namun faktanya hingga memasuki 76 tahun ber-NKRI ini dalam hal menganut sistem hukum formal tersebut kondisi desa atau sebutan lainnya dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Bahwa mayoritas desa belum mengabadikan sistem nilai lokalnya (kearifan lokal) dalam bentuk hukum formal. Akibatnya kearifan lokal tersebut banyak mengalami degradasi bahkan lenyap sendi kemasyarakatanya. Tidak memiliki jati diri berdesa.

2. Bahwa mayoritas desa belum mengatur pemerintahannya sebagaimana hak dan kewenangannya baik berdasarkan asal-usul maupun yang diberikan oleh negara dalam bentuk hukum formal desa. Akibatnya berjalan dan dikelola laksana “desa purba”.

3. Bahwa meski telah banyak pemangku desa yang berpendidikan cukup bahkan tinggi, tetapi belum banyak yang memiliki kemampuan tata kelola desa yang baik dan benar, hal ini disebabkan rendahnya budaya literasi dan motivasi, niat serta tujuan memangku desa yang tidak baik dan tidak benar. Akibatnya desa menjadi karut-marut tata kelola, tata niaga dan tata sosialnya.

4. Bahwa pemerintah di tingkat atasnya yang diberi tugas mengawasi dan membina tidak banyak yang memiliki kemampuan sebagai pengawas dan pembina yang baik dan benar. hal ini juga disebabkan rendahnya budaya literasi dan motivasi, niat serta tujuan mengawasi dan membina desa yang tidak baik dan tidak benar. Akibatnya desa menjadi obyek intervensi dan lokal pundi upeti.

5. Bahwa mayoritas rakyat desa makin cenderung apatis dalam berdesa, bersikap individualis, berpola pikir kapitalis, ditambah lagi masih dengan sangat rendahnya budaya literasi tentang desa. Akibatnya para pemangku dan pembina desa leluasa berkonspirasi merampok hak-hak atas sumber daya alam dan menjajah hak-hak atas sumber daya manusia.

Bila kondisi berdesa sudah sedemikian rupa sebagaimana uraian di atas, solusinya adalah:

1. Pemangku pemerintahan desa minimal segeralah membuat Peraturan Desa tentang Perjanjian Desa, Sejarah Desa, dan Lambang Desa.

2. Pemangku pemerintahan desa setidaknya segeralah membuat Peraturan Desa tentang Kewenangan Desa, Tata Kelola Aset Desa, Pertanian, Perikanan, Peternakan, Perkebunan, Perhutanan, Perdagangan, Perindustrian, Pertambangan, Lembaga Kemasyarakatan Desa, Organisasi Kemasyarakatan Desa, dan Bumdes.

3. Para pemangku desa harus memiliki kemampuan tata kelola desa, tata niaga desa, dan tata sosial desa yang baik dan benar, memliki budaya literasi yang tinggi, dan memiliki motivasi, niat serta tujuan memangku desa yang baik dan benar.

4. Para pembina dan pendamping harus meningkatkan kapasitasnya dalam hal tata kelola desa, tata niaga desa, dan tata sosial desa, agar mampu mengawasi dan membina serta mendampingi desa secara proporsional dan profesional serta memiliki budaya literasi, motivasi, niat serta tujuan mengawasi, membina dan mendampingi desa dengan baik dan benar.

5. Rakyat desa harus membuang jauh rasa apatis dalam berdesa, bersikap individualis, berpola pikir kapitalis dalam berdesa, serta meningkatkan budaya literasi tentang desa. Agar para pemangku dan pembina desa tidak bisa leluasa berkonspirasi merampok hak-hak atas sumber daya alam dan menjajah hak-hak atas sumber daya manusia.

Terimakasih. Semoga barokah. Aamiin..

Penulis adalah:
Direktur PusBimtek Palira.
Ketua Umum DPP LKDN.

Bagikan manfaat >>

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ada yang bisa kami bantu? .
Image Icon
Profile Image
Bimtek Palira Perlu bantuan ? Online
Bimtek Palira Mohon informasi tentang bimtek :